Selasa, 04 Agustus 2020

RIP (Rest In Problem) Pendidikan Indonesia

Informasi bertebaran dimana-mana, mau belajar apa saja pun sekarang sudah tidak sesulit 10 atau 15 tahun lalu. Referensinya pun ada dimana-mana, sangat mudah mencarinya.

 

Zaman dulu ketika kita mau belajar sesuatu kita harus mencari sekolah, kursus atau lembaga tertentu untuk lebih mendalami suatu keilmuan, namun sekarang tinggal buka mesin pencarian bernama Google semua masalah sudah terpecahkan.

 

Generasi sekarang seakan menjelma sebagai sebuah generasi yang memiliki pengetahuan super. Semua pengetahuan sudah sangat mudah mereka dapatkan, lewat genggaman tangan mereka bisa menelusuri semua informasi yang beredar di seluruh dunia. Waktunya pun menjadi relatif cepat, hitungan detik kita mampu menjelajah informasi mengenai perkembangan dunia saat ini.

 

Kemajuan teknologi sudah memberikan sebuah solusi terhadap pertukaran informasi yang semakin cepat. Perkembangan yang sangat luar biasa jika diterapkan dalam dunia pendidikan. Pelajar dan mahasiswa di Indonesia saat ini dengan mudah menjadi sebuah generasi yang memiliki ilmu pengetahuan luar biasa, mereka mampu memanfaatkan dengan mudah teknologi untuk menggali sebuah keilmuan lebih dalam, pada dasarnya itu yang diharapkan sebelumnya.

 

Namun saat ini penyalahgunaan teknologi menjadi sebuah hal yang tak mampu dihindari, banyak anak-anak muda sekarang yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa sering menyalahgunakan teknologi. Paling banyak mereka menyalahgunakan untuk sebuah pencarian informasi hal-hal yang bersifat negatif, bahkan terlarang, mereka juga rawan menyebarkan sebuah informasi yang belum tentu kebenarannya. Tidak hanya anak muda, sebenarnya di usia dewasa pun sama, mereka masih belum bijak dalam menggunakan teknologi.

 

Dunia yang terserang pandemi memang memaksa proses pendidikan berubah, pendidikan jarak jauh pun terpaksa harus dilakukan, begitu juga di Indonesia. Pendidikan Jarak jauh menjadi solusi satu-satunya yang dibuat, namun teknis untuk pendidikan jarak jauh masih saja menuai polemik dan perdebatan. Sudah siapkah Indonesia?

 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah sangat luas, sebanyak 17.504 pulau ada di Indonesia. Menurut katadata.co.id pada tahun 2018 ada sekitar 307.655 sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia (terdiri dari TK, SD, SLB, SMP, SMA dan SMK), belum lagi ditambah perguruan tinggi yang ada di Indonesia, ada sekitar 4.504 perguruan tinggi yang terdaftar.

 

Coba kita ambil perhitungan secara sederhana saja, jika total sekolah dan perguruan tinggi dijumlahkan ada sekitar 312.159 instansi, kita anggap saja jumlah pelajar atau mahasiswa di setiap masing-masing instansi sebanyak 100 pelajar/mahasiswa, jumlah totalnya 31.215.900. Inilah jumlah pelajar atau mahasiswa yang nasibnya terlunta-lunta mengikuti kebijakan pendidikan jarak jauh yang penuh polemik. Dan sepertinya jumlahnya lebih dari itu, salah satu kampus negeri saja setiap angkatan di salah satu jurusannya sejumlah 100 orang, apalagi keseluruhan kampus itu sendiri.

 

Memang pendidikan di Indonesia masih menyajikan permasalahan yang rumit, ibarat benang kusut yang tak kunjung terurai dengan baik. Seperti yang kita lihat pemberitaan di media, pendidikan jarak jauh masih terkendala akses teknologi di daerah dan fasilitas yang masih kurang. Permasalahan tidak hanya itu, bagaimana dengan para pengajarnya? Pengajar adalah salah satu faktor terpenting dalam proses pendidikan, jika pengajar tak mampu dalam menyampaikan sebuah keilmuan, belum tentu proses pembelajaran itu berjalan dengan efektif.

 

Proses belajar di kelas saja masih belum bisa efektif jika kemampuan pengajarnya tidak mampu menyampaikan keilmuan dengan benar. Tidak hanya keilmuan, seorang pengajar seharusnya mampu memberikan bimbingan dan mengarahkan pelajar ataupun mahasiswa dalam proses pembelajaran. Tidak hanya ilmu pengetahuan, interaksi dalam proses belajar akan membentuk karakter sebuah generasi.

 

Program Mas Menteri POP menjadi sebuah angin segar di tengah carut marut permasalahan pendidikan, namun proses yang seakan hanya mengemas program lama menjadi sesuatu yang baru ini ternyata menuai kontroversi dari banyak kalangan. Meningkatkan kualitas pengajar memang merupakan harga mati untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas SDM di Indonesia.   

 

Siswa atau mahasiswa yang seharusnya subyek pendidikan, seringkali hanya dipandang sebagai obyek yang harus mengikuti apa yang telah ditentukan tanpa ditelaah terlebih dahulu apakah bentuk pendidikan tersebut yang dibutuhkan dan dapat membantunya menempuh seluruh fase kehidupannya secara optimal. Pendidikan jarak jauh, jelas menandakan bahwa para siswa maupun mahasiswa adalah sebuah obyek, mereka harus mampu beradaptasi tanpa memikirkan bagaimana proses itu bisa efekti untuk mereka.

 

Ada sebuah kalimat menarik, “Mengajar adalah Seni”, tidak semua orang memiliki daya seni ini. Tapi pemahaman ini jelas akan dirasakan oleh seluruh siswa maupun mahasiswa. Alexandra Laffey mengatakan “The art of teaching comes from failing. The art of teaching is something that comes from inside a special type of person. Seni mengajar ditemukan dalam kegagalan dan seni mengajar lahir dari dalam pribadi guru yang special.

 

Pembelajaran jarak jauh memaksa mengubah cara dan sistem pendidikan, seni mengajar yang biasa dipraktikkan oleh pengajar seakan perlu adaptasi lagi. Para pengajar mulai mencari cara lain dalam mengaplikasikan jurus-jurus mereka dalam mengajar, ada yang dengan mudah beradaptasi, ada juga yang kesulitan. Belum lagi para siswa atau mahasiswa didiknya, mereka tidak pernah ditanyakan seberapa efektif pembelajaran mereka. Seberapa banyak ilmu yang bisa mereka serap dalam sebuah pembelajaran jarak jauh, belum lagi permaslahan pembelajaran di daerah-daerah pelosok Indonesia.

 

Kepala daerah adalah seorang yang paling tahu tentang keadaan di daerahnya, mereka mungkin mulai panik dengan keadaan pendidikan yang mereka lihat sehari-hari, belum ada ketidakjelasan menjadi proses pembelajaran mengambang begitu saja. Bahkan sampai ada kepala daerah yang berencana membuka kembali sekolah. Apakah ini akan menyalahi peraturan dari pusat?  

 

Mas Menteri mungkin bisa mencari banyak referensi dunia belajar mengajar dengan blusukan ke daerah-daerah, seperti yang sering dilakukan oleh Pak Presiden. Berinteraksi dengan para guru dan mendengarkan apa permasalahan mereka, mendengarkan keluh kesah setiap siswa maupun mahasiswa bagaimana sulit dan gampangnya proses belajar mereka. Jangan sampai pendidikan di Indonesia menjadi lebih parah di tengah pandemi yang tak menentu ini.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar