Dimas datang ke sekolah dan
belajar sendirian, video yang lagi viral dan diperbincangkan oleh banyak
warganet merupakan gambaran dari cerminan pendidikan di Indonesia. Sangat
disayangkan memang masih banyaknya siswa yang tidak mampu maksimal dalam
pembelajaran daring. Terbatasnya fasilitas menja sebuah hambatan dalam mencari
ilmu.
Apakah masih banyak Dimas yang
lain? Dimas adalah sosok yang berhasil terekam dan menjadi perbincangan banyak
orang, namun sebenarnya masih banyak para siswa yang bingung belajar daring
seperti apa? Fasilitas yang tidak mampu mereka penuhi jadi salah satu
penghambat utama.
Seperti cerita Dimas, seorang
pelajar SMP yang baru saja masuk sekolah. Atas inisiatif sendiri Dimas dan
ibunya datang ke sekolah, rumah dan sekolah Dimas memang berjarak tidak terlalu
jauh. Sesampainya di sekolah Dimas langsung menuju ke ruang guru untuk
mengutarakan niatnya. Dimas tak punya ponsel pintar untuk mengikuti
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Pihak sekolah Dimas pun mengijinkan Dimas untuk
belajar di sekolah, permasalahan yang luar biasa kompleks masih menghantui di
Indonesia.
Sangat mudah memang, ketika pada
waktu lalu Mas Menteri menyatakan bahwa pembelajaran daring bisa jadi permanen,
entah pernyataan itu berdasarkan fakta dan data yang menunjang, ataukah sekedar
sebuah pernyataan yang lahir dari sebuah gambaran Jakarta atau kota besar
sebagai tolok ukurnya?
Keputusan yang kadang memuat
bingung dasar pertimbangannya seperti apa, apakah sudah ada gambaran yang
dihasilkan dari sebuah keputusan ataukah keputusan itu asal diputuskan tanpa
ada sebuah proyeksi keberhasilan yang jelas.
Pendidikan adalah pondasi,
membuat keputusan yang salah sama dengan mempertaruhkan generasi penerus
bangsa. Apa yang dilakukan harus benar-benar dipikirkan secara matang, dikaji
secara dalam dan memiliki keputusan yang bisa menjadi solusi di berbagai
kalangan.
Kebijakan yang diharapkan menjadi
solusinya pun masih belum bisa menyentuh semua kalangan. Entah memang solusi
yang dibuat memang untuk kota besar atau memang untuk seluruh Indonesia, saya
kurang paham. Sekarang banyak persoalan yang menjadi kendala, yang paling sederhana
adalah masalah yang dihadapi Dimas, ponsel pintar pun Dimas tak punya, orang
tuanya tidak ada uang untuk membeli ponsel pintar. Jangankan ponsel pintar, untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pasti mereka mengalami kesulitan.
Siswa yang sekolah itu bukan
hanya di kota besar, Indonesia yang sangat luas ini memiliki sekolah-sekolah di
pedalaman yang sama sekali belum tersentuh dengan internet. Pembelajaran Jarak
Jauh yang memerlukan akses internet takkan mampu diaplikasikan disana.
Jangankan daerah pedalaman yang terpencil, di kota besar pun permasalahannya
sebenarnya masih banyak.
Di kota besar memang tidak bisa
dipungkiri jaringan internet pasti bukan lagi kendala, jaringan yang kuat
menjadi penunjang pembelajaran daring. Itu bagi yang punya ponsel pintar, bagaimana
yang tidak punya? Mungkin masih banyak yang nyinyir, hidup di kota besar masa
gak punya hape? Biasanya yang nyinyir kayak gini ngopinya kurang jauh, temennya
kurang banyak, atau orang yang sangat egois, sehingga tak melihat lingkungan di
sekitarnya.
Orang yang tidak punya ponsel
pintar di kota besar masih ada, mereka tidak memiliki ponsel karena itu bukan
kebutuhan mereka. Orang-orang seperti ini membeli prioritas kebutuhan untuk
keluarga, dalam hal ini adalah pangan. Mereka bekerja untuk mencukupi pangan
satu keluarga, berusaha membiayai anak-anak mereka sekolah.
Belum lagi untuk sebuah kegiatan Pembelajaran
Jarak Jauh yang memerlukan kuota internet yang tidak sedikit. Apakah efektif? Pasti
efektif dalam meningkatkan omzet provider. Satu kali kegiatan belajar secara daring,
yang dimulai dari pagi pukul 07.00 sampai siang 12.00 memerlukan kuota berapa? Kan
ada paket internet unlimited? Pakai itu saja per bulannya sudah cukup. Apakah
cukup? Apakah benar unlimited?
Coba dijawab untuk teman-teman
para provider, apakah paket internet yang kalian jual benar-benar unlimited?
Mohon klarifikasinya, setahu saya paket unlimited masih memiliki batas maksimal
penggunaan internet. Setelah melampaui batas tersebut ya jelas internet mulai
lemot untuk membuka browser, padahal pembelajaran jarak jauh itu biasanya
menggunakan video call interaktif. Kuota yang dihabiskan untuk kegiatan ini
tidaklah sedikit, selain itu jaringannya haruslah stabil. Tidak mungkin paket
unlimited yang melewati batas kuota tertentu bisa digunakan untuk ini.
Ada juga keluarga yang mempunyai
anak usia sekolah atau kuliah lebih dari satu. Mereka harus menunjang kebutuhan
Pembelajaran Jarak Jauh mereka. Misalnya sebuah keluarga punya anak usia
sekolah SD dan SMP, namun orang tua mereka hanya punya sebuah ponsel pintar,
terus yang terjadi adalah jam pembelajaran jarak jauh mereka bersamaan. Apa
yang harus dilakukan keluarga ini? Beli ponsel pintar lagi? Bisa jadi, mereka
memaksakan diri membeli ponsel pintar dan kuota internet untuk anak mereka sekolah,
namun di sepertiga malam mereka menangis di dalam sujudnya. Berharap ada rejeki untuk
menyambung hidup keluarganya.
Program Organisasi Penggerak
(POP), mungkin inilah kebijakan extraordinary dari Mas Menteri yang diharapkan
oleh Presiden Jokowi. Program yang melibatkan peran organisasi kemasyarakatan
untuk gotong royong meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut Mas
Menteri ini adalah program turunan dari Merdeka Belajar. Kabar terakhir program
ini banyak ditinggalkan pesertanya. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
menarik diri dari salah program Kemendikbud ini.
Mas Menteri sesungguhnya punya riwayat
cerdas di atas rata-rata, lulusan luar negeri pula. Ditempatkannya Mas Menteri
di Bidang Pendidikan mempunyai harapan besar, percepatan pengembangan dunia
pendidikan dengan gagasan out of the box dan extraordinary. Namun sampai hari
ini belum ada panduan yang jelas bagaimana seharusnya memanajemeni dunia
pendidikan di era pandemi. Semua solusi yang tidak out of the box mengarah ke
pembelajaran daring.
Ironis memang, disaat pandemi ekonomi rakyat kecil terpuruk,salah satu solusi yi bantuan pendidikan bagi yg kurang mampu hrs ditingkatkan spy mereka dpt mengikuti pendidikan formal didaerahnya
BalasHapus