Minggu, 21 November 2010

My Father Superhero

Sore itu seperti biasanya saya menyalakan winamp di laptop, saya ingin mendengarkan beberapa lagu barat. Sambil tiduran saya menikmati alunan musik yang mengalir, sambil menirukan beberapa lirik saya ikut menyanyi dan terhanyut di dalamnya. Sampailah saya pada satu lagu yang sebenarnya saya sudah paham makna liriknya seperti apa, tapi di sore itu liriknya lebih terasa nendang banget di telinga saya.

“Because we lost it all…Nothing lasts forever”
“I’m sorry…I can’t be Perfect”
“Now it’s just too late…And we can’t go back”
“I’m sorry…I can’t be Perfect”


“Perfect by Simple Plan” lagu yang biasanya cuma saya dengarkan dan nyanyikan begitu saja, sore itu seperti membangunkan saya dalam tidur yang panjang, saya mulai lagi teringat dengan sosok yang selama ini berperan penting dalam kehidupan saya. Sosok yang selama ini memberikan yang terbaik darinya hanya untuk saya.

“My Father Superhero…” itulah kalimat yang ingin saya katakan kepada semua orang di dunia ini. Kalimat yang ingin saya katakan dengan lantang dan bangganya. Ternyata saya mempunyai seorang Ayah yang terbaik di dunia.

Dulu saya terjebak oleh pemikiran yang dangkal dan tak seharusnya ada dalam pikiran saya, saya terlalu menuntut kesempurnaan dari ayah saya. Terlalu membandingkan peran ayah saya dengan ayah dari teman, tetangga dan kadang peran seorang ayah di televisi. Saya merasakan bahwa ayah saya kurang bisa memahami apa yang saya inginkan, saya merasakan ayah saya tidak bisa memenuhi apa yang saya perlukan. Dulu saya begitu kejam sekali mengadili ayah saya dengan tuntutan yang tidak seharusnya.

Pada waktu kecil ketika melihat ayah dari teman-teman saya memanjakan teman saya dengan membelikannya berbagai mainan yang sangat menarik, saya menjadi iri dengan mereka, saya ingin ayah saya mengerti dan berbuat sama dengan apa yang ayah teman saya lakukan. Ketika beranjak remaja pun saya masih saya menuntut kesempurnaan peran dari ayah saya, melihat ayah dari teman saya mendukung hobi dan kesenangan teman saya, saya menjadi iri lagi dengan teman-teman saya. Saya semakin tidak suka dengan peran yang ayah saya lakukan. Saya semakin membenci ayah saya. Saya mulai sering marah dan membentak ketika bicara dengan ayah saya. Saya terlalu menuntut peran seorang ayah sesuai dengan apa yang saya inginkan. Peran seorang ayah sempurna menurut versi saya.

Saya sangat menyesal sekali mengingat kembali kejadian-kejadian dulu, dimana saya sangat membenci ayah saya, karena peran ayah saya tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Ternyata ayah saya seorang yang sangat hebat, dibalik segala kekurangannya saya sangat mendambakan menjadi sosok seperti beliau. Saya mulai mengerti ternyata ayah saya sudah menjalankan peran semaksimal yang dia bisa. Ayah saya sudah berusaha menjadi yang terbaik untuk saya, ayah saya sudah berusaha memberikan segala sesuatu yang saya inginkan. Mengapa saya baru mengertinya sekarang? Saya sangat menyesal sekali harus mengerti sekarang, dosa saya kepada ayah saya begitu besar.

Ayah saya seorang yang sangat sabar, beliau selalu sabar dan ikhlas menghadapi segala macam cobaan. Lima belas tahun ibu saya menderita sakit, tapi ayah saya dengan sabar merawat ibu saya. Ketika ibu saya harus dirawat di rumah sakit pun, ayah saya dengan setia mendampingi ibu saya. Siang dan malam ayah saya selalu mendampingi ibu saya, dia selalu menggenggam tangannya. Ibu saya semakin membaik, ayah saya sangat senang melihat keadaan ibu saya yang semakin membaik, sehingga perawatan ibu saya pun dipindah kerumah. Namun ternyata semua bertolak belakang dengan ekspektasi yang diharapkan semua orang. Pada suatu pagi keadaan ibu saya semakin memburuk, ayah saya tampak gusar dan takut melihat keadaan ibu saya. Dan ternyata Allah SWT memanggil ibu saya lebih cepat. Ayah saya menjadi orang yang paling sedih ketika ibu saya meninggal, namun ayah saya masih berusaha tenang, sabar dan ikhlas.

Suatu malam saya melihat ayah saya menangis setelah sholat malam, dia sangat sedih sekali ditinggal ibu saya. Masalah yang dihadapinya sangat sulit sekali tapi ayah saya selalu sabar dan ikhlas menerima itu semua. Dia masih saja menunjukkan senyum terindahnya kepada anak-anaknya dan orang-orang disekitarnya. Kesedihannya sangat mendalam, namun dia tidak ingin kesedihan itu diketahui oleh orang-orang disekitarnya.
Saya ingin menjadi sabar seperti beliau, saya ingin menjadi seorang yang ikhlas seperti beliau, saya ingin menjadi seorang yang hebat seperti Ayah saya. (my_fandora,2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar