Senin, 20 Juli 2020

Buka Sekolah dan Kampus Untuk Hindarkan Indonesia dari Jurang Resesi

Sekolah dan Kampus bisa tingkatkan konsumsi

Singapura tak mampu lagi memungkiri bahwa negaranya memang sedang tak baik-baik saja. Perekonomian sudah babak belur, jurang resesi pun tak sanggup dihindari. Pada kuartal II tahun ini ekonomi Singapura terperosok dan mengalami kontraksi hingga 41,2%. Apakah Indonesia juga akan bernasib sama? Sepertinya iya, jika kebijakan yang diambil tak mampu menggerakkan perekonomian.

Apakah Indonesia akan terdampak resesi Singapura? Negara di sekitar Singapura pasti terdampak, tapi sebesar apa dampaknya? Cukup menarik melihat dampak resesi Singapura terhadap Indonesia.

Singapura adalah negara yang mengandalkan perdagangan global untuk menopang perekonomian mereka. Negara kecil yang sangat aktif di perdagangan internasional. Saat pandemi seperti ini, Singapura akan sangat terdampak, karena kekuatan ekonominya akan dipengaruhi banyak faktor ekternal dari negara lain. Perdagangan global lesu, ekonomi Singapura pun akhirnya ikutan lesu.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum pandemi menyerang, perekonomian Indonesia memang tumbuh, perekonomian dari dalam negeri menggeliat begitu cepat. UMKM menjadi motor penggerak yang luar biasa. Hampir 98% penyediaan pekerjaan di Indonesia di dominasi oleh UMKM. Produk yang dihasilkan pun sebagian besar masih untuk konsumsi domestik. Ini yang membedakan Indonesia dengan Singapura.

Secara perdagangan global mungkin Indonesia kalah dengan Singapura, justru ini yang akan menyelamatkan Indonesia dari resesi. Perekonomian Indonesia yang masih mengandalkan konsumsi domestik adalah jawaban untuk menghindari jurang resesi. Indonesia akan lebih mudah bangkit secara perekonomian. Syaratnya dengan menggerakkan UMKM dan meningkatkan konsumsi domestik.

Indonesia dengan istilah-istilah barunya telah membuka lagi kegiatan perekonomian, entah itu istilah new normal atau adaptasi kebiasaan baru. Namun Indonesia lupa menggerakkan motor perekonomian tersebut. Ibarat membuka kran mata air tapi lupa untuk menghidupakan pompa airnya. Tidak akan ada aliran air yang deras selama pompa airnya tidak dinyalakan.

Sekolah dan kampus adalah sebuah pompa air yang harus segera dinyalakan. Ini adalah pompa air yang mampu mengdongkrak aliran air cukup kencang. Memang masih banyak pro dan kontra tentang sekolah akan dibuka atau tidak, namun selama hal ini tidak dilakukan ekonomi tidak mungkin bergerak dengan kencang.

Ada yang bilang kalau sekolah dan kampus tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian? Yakin demikian? Memang dampak ekonomi yang dihasilkan ketika sekolah atau kampus dibuka terlihat receh, namun ketika uang recehnya jumlahnya segunung akan ternilai besar nominalnya. Jadi ini hal yang diremehkan pemerintah selama ini, mereka melupakan bahwa pompa air itu adalah sekolah dan kampus.

Banyak pekerjaan dan UMKM yang terhenti akibat kegiatan sekolah dan kampus dihentikan, mereka mungkin terlihat tidak memberikan dampak signifikan. Ada 27.205 SMA dan SMK yang ada di Indonesia, ada 4.504 perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa juta orang yang terdampak akibat kegiatan sekolah atau kampus dihentikan.

Satu sekolah saja berhenti operasional saja ada beberapa kantin sekolah yang tidak berjualan lagi. Belum lagi jasa layanan antar jemput anak sekolah, penjual seragam sekolah, alat tulis, driver ojol yang biasa antar jemput anak sekolah. Kampus tutup berdampak pada rumah indekos di sekitar kampus, penjual makanan disekitar kampus. Satu kampus tutup bisa ratusan penjual makanan yang tidak lagii berjualan.  

Ketakutan orang tua terhadap anaknya terpapar covid-19 menjadi salah satu alasan utama sekolah masih belum dibuka. Alasan anak-anak sulit untuk menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan jadi bahan acuannya. Mungkin untuk kelas PAUD, SD dan SMP masih relevan alasan tersebut, tapi untuk anak SMA dan kuliah mungkin bisa dipertimbangkan.

Anak SMA dan kuliah tergolong remaja, dimana mereka memiliki batasan usia menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Disini usia remaja sudah mampu membedakan baik dan buruk, sudah bisa menilai tindakan yang baik dan buruk yang akan dilakukannya. Usia remaja sudah mampu menaati protokol kesehatan, mereka akan paham betul bahayanya covid-19 ini.

Sekolah dan kampus tidak perlu dibuka, karena pendidikan daring sudah menjadi solusinya. Pendidikan daring memerlukan layanan internet yang cukup kencang, ini yang  menjadi alasan para remaja ini untuk berkumpul di warung kopi. Paketan internet habis, dirumah tidak ada  wifi menjadi alasan mereka untuk keluar rumah.

Warung kopi, cafe dan tempat nongkrong dengan akses wifi gratis menjadi pilihan. Mereka berkumpul dengan teman-temannya. Durasi nongkrong  dibandingkan dengan kuliah daring pun lebih banyak didominasi dengan nongkrong. Apakah hal ini lebih efektif daripada sekolah atau kuliah secara tatap muka?
 

1 komentar: