Sekolah dan Kampus bisa tingkatkan konsumsi |
Singapura tak mampu lagi
memungkiri bahwa negaranya memang sedang tak baik-baik saja. Perekonomian sudah
babak belur, jurang resesi pun tak sanggup dihindari. Pada kuartal II tahun ini
ekonomi Singapura terperosok dan mengalami kontraksi hingga 41,2%. Apakah
Indonesia juga akan bernasib sama? Sepertinya iya, jika kebijakan yang diambil
tak mampu menggerakkan perekonomian.
Apakah Indonesia akan terdampak
resesi Singapura? Negara di sekitar Singapura pasti terdampak, tapi sebesar apa
dampaknya? Cukup menarik melihat dampak resesi Singapura terhadap Indonesia.
Singapura adalah negara yang
mengandalkan perdagangan global untuk menopang perekonomian mereka. Negara
kecil yang sangat aktif di perdagangan internasional. Saat pandemi seperti ini,
Singapura akan sangat terdampak, karena kekuatan ekonominya akan dipengaruhi
banyak faktor ekternal dari negara lain. Perdagangan global lesu, ekonomi
Singapura pun akhirnya ikutan lesu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebelum pandemi menyerang, perekonomian Indonesia memang tumbuh, perekonomian
dari dalam negeri menggeliat begitu cepat. UMKM menjadi motor penggerak yang
luar biasa. Hampir 98% penyediaan pekerjaan di Indonesia di dominasi oleh UMKM.
Produk yang dihasilkan pun sebagian besar masih untuk konsumsi domestik. Ini
yang membedakan Indonesia dengan Singapura.
Secara perdagangan global mungkin
Indonesia kalah dengan Singapura, justru ini yang akan menyelamatkan Indonesia
dari resesi. Perekonomian Indonesia yang masih mengandalkan konsumsi domestik
adalah jawaban untuk menghindari jurang resesi. Indonesia akan lebih mudah
bangkit secara perekonomian. Syaratnya dengan menggerakkan UMKM dan
meningkatkan konsumsi domestik.
Indonesia dengan istilah-istilah
barunya telah membuka lagi kegiatan perekonomian, entah itu istilah new normal
atau adaptasi kebiasaan baru. Namun Indonesia lupa menggerakkan motor
perekonomian tersebut. Ibarat membuka kran mata air tapi lupa untuk
menghidupakan pompa airnya. Tidak akan ada aliran air yang deras selama pompa
airnya tidak dinyalakan.
Sekolah dan kampus adalah sebuah
pompa air yang harus segera dinyalakan. Ini adalah pompa air yang mampu
mengdongkrak aliran air cukup kencang. Memang masih banyak pro dan kontra
tentang sekolah akan dibuka atau tidak, namun selama hal ini tidak dilakukan
ekonomi tidak mungkin bergerak dengan kencang.
Ada yang bilang kalau sekolah dan
kampus tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian? Yakin
demikian? Memang dampak ekonomi yang dihasilkan ketika sekolah atau kampus
dibuka terlihat receh, namun ketika uang recehnya jumlahnya segunung akan
ternilai besar nominalnya. Jadi ini hal yang diremehkan pemerintah selama ini,
mereka melupakan bahwa pompa air itu adalah sekolah dan kampus.
Banyak pekerjaan dan UMKM yang
terhenti akibat kegiatan sekolah dan kampus dihentikan, mereka mungkin terlihat
tidak memberikan dampak signifikan. Ada 27.205 SMA dan SMK yang ada di
Indonesia, ada 4.504 perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa
juta orang yang terdampak akibat kegiatan sekolah atau kampus dihentikan.
Satu sekolah saja berhenti
operasional saja ada beberapa kantin sekolah yang tidak berjualan lagi. Belum
lagi jasa layanan antar jemput anak sekolah, penjual seragam sekolah, alat
tulis, driver ojol yang biasa antar jemput anak sekolah. Kampus tutup berdampak
pada rumah indekos di sekitar kampus, penjual makanan disekitar kampus. Satu
kampus tutup bisa ratusan penjual makanan yang tidak lagii berjualan.
Ketakutan orang tua terhadap
anaknya terpapar covid-19 menjadi salah satu alasan utama sekolah masih belum
dibuka. Alasan anak-anak sulit untuk menjaga jarak dan menerapkan protokol
kesehatan jadi bahan acuannya. Mungkin untuk kelas PAUD, SD dan SMP masih
relevan alasan tersebut, tapi untuk anak SMA dan kuliah mungkin bisa
dipertimbangkan.
Anak SMA dan kuliah tergolong
remaja, dimana mereka memiliki batasan usia menurut WHO adalah 12 sampai 24
tahun. Disini usia remaja sudah mampu membedakan baik dan buruk, sudah bisa
menilai tindakan yang baik dan buruk yang akan dilakukannya. Usia remaja sudah
mampu menaati protokol kesehatan, mereka akan paham betul bahayanya covid-19
ini.
Sekolah dan kampus tidak perlu
dibuka, karena pendidikan daring sudah menjadi solusinya. Pendidikan daring
memerlukan layanan internet yang cukup kencang, ini yang menjadi alasan para remaja ini untuk
berkumpul di warung kopi. Paketan internet habis, dirumah tidak ada wifi menjadi alasan mereka untuk keluar rumah.
Warung kopi, cafe dan tempat
nongkrong dengan akses wifi gratis menjadi pilihan. Mereka berkumpul dengan
teman-temannya. Durasi nongkrong
dibandingkan dengan kuliah daring pun lebih banyak didominasi dengan
nongkrong. Apakah hal ini lebih efektif daripada sekolah atau kuliah secara
tatap muka?
bisa komentar disini
BalasHapus