Kamis, 23 Juli 2020

Klaimnya Bukan Koran

Akhir Juni  saya dikejutkan dengan kabar Dahlan Iskan akan menerbitkan sebuah media cetak. Sang Maestro di industri surat kabar ini memberikan sebuah pernyataan bahwa yang dibuatnya adalah media cetak dan bukan koran.

Sudah tidak sabar sebenarnya untuk membaca Harian Disway, yang konon katanya diklaim bukan koran. Kalau bukan koran, terus apa? Majalah? Tabloid? Dalam pikiran saya mulai menelisik dan mencari jawaban.

Katanya media cetak yang terbit harian, berarti koran donk? Mulai lagi pikiran saya berkecamuk. Melihat foto ilustrasi yang ditampilkan di website resminya https://harian.disway.id/ memang penampakannya jauh dari koran, lebih cenderung mirip majalah. 

Menariknya lagi adalah kalimat pembuka dari Dahlan Iskan di website resminya “Inilah media yang diterbitkan tidak untuk tujuan bisnis”. Sebuah kalimat yang menurut saya sangat idealis sekali, sangat menarik mendengar kalimat tersebut, mengingat media cetak sekarang idealismenya sudah ditumpangi dengan kepentingan bisnis.

Pada akhirnya saya berkesempatan mengintip harian disway, tidak mengejutkan kalau disana memang dimotori oleh para senior Jawa Pos. Akhirnya saya mendapatkan media cetak harian yang sempat mengusik rasa penasaran saya. Seperti apa Harian Disway?

Dari sisi jurnalisme mungkin saya tidak berhak untuk memberikan komentar, meskipun saya sempat bekerja di Jawa Pos tapi posisi saya bukanlah seorang jurnalis. Saya hanya seorang pekerja di bagian sales iklan Jawa Pos. Namun dari sisi jurnalisme saya yakin Harian Disway tidak akan kehilangan kualitasnya, karena yang memantau Dahlan Iskan langsung.

Saya sedikit mereview dan mengunboxing Harian Disway dari segi bisnisnya saja, karena ketika saya berbicara mengenai jurnalistik maka akan banyak komentar netijen yang meragukan keilmuan saya. Itu bukan ranah saya, saya orang ekonomi, mungkin akan tepat jika saya menutarakan uneg-uneg di bidang ekonomi saja.

Pengalaman saya di indutri media seakan memberikan gambaran yang cukup luas terhadap jalannya bisnis ini. Ketika kita ngomong tentang media, kita tidak bisa mengenyampingkan sisi bisnisnya. Jika diibarat sebuah mesin, media ini butuh bahan bakar untuk tetap hidup dan berjalan. Menariknya lagi seperti yang saya utarakan diawal, ada sebuah statement Pak Dahlan mengenai Harian Disway yang tidak diterbitkan untuk tujuan bisnis. Menjadi kalimat menarik yang penuh tanda tanya besar.

Sempat terpikir untuk melamar pekerjaan sebagai marketing disana, namun sepertinya lowongan itu tidak ada. Hehehee.... Model bisnis yang dijalankan Harian Disway seperti apa saya kurang tahu, tapi akan sangat menarik jika saya punya kesempatan ngobrol masalah ini dengan Abah Dahlan Iskan langsung.  

Seperti yang sudah saya ketahui sebelumnya, media cetak mendapatkan pemasukkan utama dari iklan dan banyaknya penjualan media cetaknya. Untuk seberapa banyak jumlah pelanggan yang dihasilkan pun masih berkontribusi minimal untuk pemasukan perusahaan. Pendapatan dari iklan adalah penopang omzet terbesar dari sebuah media.

Beberapa tahun bekerja disana, saya telah menghasilkan milyaran rupiah untuk koran Jawa Pos, per bulannya saja omzet saya bisa mencapai dua milyar, itu untuk satu marketing saja. Kontribusi itu masih sangat sedikit sekali karena Jawa Pos merupakan organisasi yang sangat besar. Omzet yang saya hasilkan ibarat sisa remahan rengginang di toples hari raya.

Saya masih ingat pada tahun 2015 omzet yang dihasilkan dari iklan di Jawa Pos mencapai 450 Milyar, jumlah yang sangat luar biasa untuk sebuah perusahaan media. Banyak alternatif iklan yang ada di koran pada waktu itu, ada iklan display, advertorial, dan iklan baris. Iklan display sendiri adalah favorit buat para brand besar. Iklan Advertorial masih tergolong baru di Jawa Pos, namun iklan ini mendapatkan sambutan positif dari klien, karena mereka bisa memberikan pemahan yang lebih detail kepada calon konsumen mereka.

Kembali ke Harian Disway, kalau memang media ini bukan untuk tujuan bisnis, sebenarnya tujuannya apa? Terus bisa hidupnya dari mana? Apakah media ini sifatnya temporary? Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya. Mungkin masih belum bisa terjawab sebelum saya bertemu langsung dengan Pak Dahlan Iskan.

Banyak kalangan yang sudah memprediksi senjakala media cetak sejak lama, pada saat saya aktif di Jawa Pos pun sudah ada beberapa media cetak kondang yang mulai gulung tikar. Pada tahun 2015 Harian Bola yang sudah menjadi salah satu sumber berita saya tentang berita olahraga menyatakan itu menjadi edisi terakhir mereka. Menyusul pada awal Januari 2016 koran Sinar Harapan pun menyatakan hal yang sama. Disitulah saya mulai berpikir sampai kapan media cetak akan bertahan ditengah gempuran teknologi yang semakin canggih.

Memang Dahlan Iskan tidak pernah absen seharipun menulis di website nya www.diway.id , sebuah portal digital yang hampir setiap hari saya buka untuk menikmati kerinduan akan tulisan Pak DI. Konon kabarnya website ini mempunyai traffic yang luar biasa setiap harinya, pembaca militan Pak DI selalu mengunjungi website ini setiap harinya, termasuk saya. Dari sini sih seharusnya sudah bisa tergambarkan pilihan media dari masyarakat hari ini. Tapi kenapa kok balik lagi ke media cetak Abah?

Membuat channel youtube saya kira adalah jawaban dari pengembangan www.disway.id , saya sempat terkecoh disini. Media kebanyakan memanfaatkan sosial media, youtube dan website untuk mempublish kontennya, berbeda dengan Abah DI yang tiba-tiba balik ke media cetak.

Saya takutnya media ini hanya tentang sebuah perwujudan eksistensi, sebuah media idealis jurnalisitik yang bertumpu pada dana pribadi. Bukannya saya tidak mendukung Harian Disway, saya sangat menikmati karya Harian Disway, namun saya sangat menyayangkan jika model bisnisnya kurang kuat. Namanya bisnis harus bisa menghasilkan keuntungan, paling tidak mampu membiayai biaya operasional, bukannya tekor.

Waktu webinar Dahlan Iskan bersama Tung Desem Waringin ada kalimat pernyataan abah yang menarik bagi saya. Abah DI menyoroti media online yang kesulitan mendapatkan revenue, abah berpendapat bahwa media online hanya numpang lewat, dan yang memperoleh revenue adalah SI Google itu sendiri. Dalam webinar itu juga Dahlan Iskan mengatakan Harian Disway akan muncul versi online nya, dimana akan memperoleh pendapatan dari sana tanpa harus disedot oleh Google, Facebook dan semacamnya.

Akan menarik sebenarnya melihat kiprah Harian Disway tiga bulan kedepan, seperti yang dijanjikan Dahlan Iskan, versi online akan tayang tiga bulan kedepan. Harian Disway harus mampu mempertahankan kualitas jurnalistik dengan revenue yang bisa menopang biaya operasional dari media ini. Seperti apa itu? Saya pun sudah tidak sabar menantikan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar