Akhir Juni saya dikejutkan dengan kabar Dahlan Iskan
akan menerbitkan sebuah media cetak. Sang Maestro di industri surat kabar ini
memberikan sebuah pernyataan bahwa yang dibuatnya adalah media cetak dan bukan
koran.
Sudah tidak sabar sebenarnya
untuk membaca Harian Disway, yang konon katanya diklaim bukan koran. Kalau
bukan koran, terus apa? Majalah? Tabloid? Dalam pikiran saya mulai menelisik
dan mencari jawaban.
Katanya media cetak yang terbit
harian, berarti koran donk? Mulai lagi pikiran saya berkecamuk. Melihat foto
ilustrasi yang ditampilkan di website resminya https://harian.disway.id/ memang
penampakannya jauh dari koran, lebih cenderung mirip majalah.
Menariknya lagi adalah kalimat pembuka
dari Dahlan Iskan di website resminya “Inilah media yang diterbitkan tidak
untuk tujuan bisnis”. Sebuah kalimat yang menurut saya sangat idealis sekali,
sangat menarik mendengar kalimat tersebut, mengingat media cetak sekarang idealismenya
sudah ditumpangi dengan kepentingan bisnis.
Pada akhirnya saya berkesempatan
mengintip harian disway, tidak mengejutkan kalau disana memang dimotori oleh
para senior Jawa Pos. Akhirnya saya mendapatkan media cetak harian yang sempat
mengusik rasa penasaran saya. Seperti apa Harian Disway?
Dari sisi jurnalisme mungkin saya
tidak berhak untuk memberikan komentar, meskipun saya sempat bekerja di Jawa
Pos tapi posisi saya bukanlah seorang jurnalis. Saya hanya seorang pekerja di
bagian sales iklan Jawa Pos. Namun dari sisi jurnalisme saya yakin Harian
Disway tidak akan kehilangan kualitasnya, karena yang memantau Dahlan Iskan langsung.
Saya sedikit mereview dan
mengunboxing Harian Disway dari segi bisnisnya saja, karena ketika saya
berbicara mengenai jurnalistik maka akan banyak komentar netijen yang meragukan
keilmuan saya. Itu bukan ranah saya, saya orang ekonomi, mungkin akan tepat
jika saya menutarakan uneg-uneg di bidang ekonomi saja.
Pengalaman saya di indutri media seakan
memberikan gambaran yang cukup luas terhadap jalannya bisnis ini. Ketika kita
ngomong tentang media, kita tidak bisa mengenyampingkan sisi bisnisnya. Jika
diibarat sebuah mesin, media ini butuh bahan bakar untuk tetap hidup dan
berjalan. Menariknya lagi seperti yang saya utarakan diawal, ada sebuah
statement Pak Dahlan mengenai Harian Disway yang tidak diterbitkan untuk tujuan
bisnis. Menjadi kalimat menarik yang penuh tanda tanya besar.
Sempat terpikir untuk melamar
pekerjaan sebagai marketing disana, namun sepertinya lowongan itu tidak ada. Hehehee....
Model bisnis yang dijalankan Harian Disway seperti apa saya kurang tahu, tapi
akan sangat menarik jika saya punya kesempatan ngobrol masalah ini dengan Abah
Dahlan Iskan langsung.
Seperti yang sudah saya ketahui
sebelumnya, media cetak mendapatkan pemasukkan utama dari iklan dan banyaknya
penjualan media cetaknya. Untuk seberapa banyak jumlah pelanggan yang
dihasilkan pun masih berkontribusi minimal untuk pemasukan perusahaan. Pendapatan
dari iklan adalah penopang omzet terbesar dari sebuah media.
Beberapa tahun bekerja disana,
saya telah menghasilkan milyaran rupiah untuk koran Jawa Pos, per bulannya saja
omzet saya bisa mencapai dua milyar, itu untuk satu marketing saja. Kontribusi
itu masih sangat sedikit sekali karena Jawa Pos merupakan organisasi yang
sangat besar. Omzet yang saya hasilkan ibarat sisa remahan rengginang di toples
hari raya.
Saya masih ingat pada tahun 2015
omzet yang dihasilkan dari iklan di Jawa Pos mencapai 450 Milyar, jumlah yang
sangat luar biasa untuk sebuah perusahaan media. Banyak alternatif iklan yang
ada di koran pada waktu itu, ada iklan display, advertorial, dan iklan baris.
Iklan display sendiri adalah favorit buat para brand besar. Iklan Advertorial
masih tergolong baru di Jawa Pos, namun iklan ini mendapatkan sambutan positif
dari klien, karena mereka bisa memberikan pemahan yang lebih detail kepada
calon konsumen mereka.
Kembali ke Harian Disway, kalau
memang media ini bukan untuk tujuan bisnis, sebenarnya tujuannya apa? Terus
bisa hidupnya dari mana? Apakah media ini sifatnya temporary? Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya. Mungkin
masih belum bisa terjawab sebelum saya bertemu langsung dengan Pak Dahlan
Iskan.
Banyak kalangan yang sudah
memprediksi senjakala media cetak sejak lama, pada saat saya aktif di Jawa Pos
pun sudah ada beberapa media cetak kondang yang mulai gulung tikar. Pada tahun
2015 Harian Bola yang sudah menjadi salah satu sumber berita saya tentang
berita olahraga menyatakan itu menjadi edisi terakhir mereka. Menyusul pada
awal Januari 2016 koran Sinar Harapan pun menyatakan hal yang sama. Disitulah
saya mulai berpikir sampai kapan media cetak akan bertahan ditengah gempuran
teknologi yang semakin canggih.
Memang Dahlan Iskan tidak pernah
absen seharipun menulis di website nya www.diway.id
, sebuah portal digital yang hampir setiap hari saya buka untuk menikmati
kerinduan akan tulisan Pak DI. Konon kabarnya website ini mempunyai traffic
yang luar biasa setiap harinya, pembaca militan Pak DI selalu mengunjungi
website ini setiap harinya, termasuk saya. Dari sini sih seharusnya sudah bisa
tergambarkan pilihan media dari masyarakat hari ini. Tapi kenapa kok balik lagi
ke media cetak Abah?
Membuat channel youtube saya kira
adalah jawaban dari pengembangan www.disway.id
, saya sempat terkecoh disini. Media kebanyakan memanfaatkan sosial media,
youtube dan website untuk mempublish kontennya, berbeda dengan Abah DI yang
tiba-tiba balik ke media cetak.
Saya takutnya media ini hanya tentang
sebuah perwujudan eksistensi, sebuah media idealis jurnalisitik yang bertumpu
pada dana pribadi. Bukannya saya tidak mendukung Harian Disway, saya sangat
menikmati karya Harian Disway, namun saya sangat menyayangkan jika model
bisnisnya kurang kuat. Namanya bisnis harus bisa menghasilkan keuntungan,
paling tidak mampu membiayai biaya operasional, bukannya tekor.
Waktu webinar Dahlan Iskan
bersama Tung Desem Waringin ada kalimat pernyataan abah yang menarik bagi saya.
Abah DI menyoroti media online yang kesulitan mendapatkan revenue, abah
berpendapat bahwa media online hanya numpang lewat, dan yang memperoleh revenue
adalah SI Google itu sendiri. Dalam webinar itu juga Dahlan Iskan mengatakan Harian
Disway akan muncul versi online nya, dimana akan memperoleh pendapatan dari
sana tanpa harus disedot oleh Google, Facebook dan semacamnya.
Akan menarik sebenarnya melihat
kiprah Harian Disway tiga bulan kedepan, seperti yang dijanjikan Dahlan Iskan,
versi online akan tayang tiga bulan kedepan. Harian Disway harus mampu
mempertahankan kualitas jurnalistik dengan revenue yang bisa menopang biaya
operasional dari media ini. Seperti apa itu? Saya pun sudah tidak sabar
menantikan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar