Media Cetak Bukan Koran |
Sangat menarik memang mengikuti sepak terjang seorang Dahlan Iskan. Saya seseorang yang tumbuh besar dengan kehadiran Jawa Pos disisi saya, dengan sosok Dahlan Iskan sebagai motor di dalamnya. Sosok yang sebenarnya hanya saya kenal lewat tulisannya ketika saya masih kanak-kanak. Mungkin masih belum bisa disebut menginspirasi, tapi sosok Pak DI sangat akrab di dalam kehidupan.
Saya berharapnya Harian Disway
akan sangat berbeda dengan Jawa Pos, dari segi apapun. Saya tidak bisa
menyoroti sisi jurnalismenya, karena saya sama sekali tidak punya basic
jurnalistik. Saya memang pernah bekerja di Jawa Pos Koran, namun di bagian yang
berbeda. Bagian ujung tombak Jawa Pos, yang konon katanya sangat krusial.
Awal mula mendaftar di Jawa Pos
memang sebagai seorang jurnalis, namun karena interviewnya dengan manajer iklan
ya akhirnya masuklah ke divisi bisnis Jawa Pos. Awal mulanya saya pikir itu
langkah awal saya dalam belajar jurnalistik, setelah ada di dalam saya bakalan
mengajukan untuk pindah divisi, itu pikiran saya ketika pertama masuk di Jawa
Pos.
Pikiran awal memang akhirnya
tidak sejalan dengan kenyataan, keinginan pindah divisi ternyata tetap menjadi
sebuah wacana. Entah karena saya merasa nyaman di divisi bisnis Jawa Pos, atau karena
hobi saya mencari omzet yang membuat gagal pindah divisi.
Sebenarnya belajar menulis masih
saya tekuni di Jawa Pos, setiap ada liputan event yang berkaitan dengan klien untuk
kepentingan iklan berusaha saya tulis sendiri. Apalagi di zaman saya bekerja,
iklan yang masuk sangat berjibun, sehingga para jurnalisnya pun kewalahan.
Kembali ke Harian Disway, pada
akhirnya rasa penasaran saya terbayar lunas untuk mengerti seluk beluk harian
ini. Kebetulan acara saya untuk membuat simulasi wedding bersama teman-teman
diliput Harian Disway, karena Harian Disway tidak dijual di pinggir jalan maka
saya berusaha mencari dimana media cetak ini dijual.
Website resmi mencantumkan
informasi untuk berlangganan Harian Disway, disitu juga ditampilkan nomor
Whatsapp yang bisa dihubungi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirimkan pesan
singkat pada nomor yang tertera di portal resmi Harian Disway. Respon yang saya
dapatnya lumayan cepat, saya disarankan untuk datang ke kantor Harian Disway
karena saya berencana membeli secara eceran edisi yang sudah cetak dan dalam
jumlah lebih dari satu.
Keesokan harinya jam 10 saya
langsung meluncur menuju kantor Harian Disway, sesampainya disana ternyata sudah
patuh anjuran pemerintah, pengunjung wajib mengikuti protokoler kesehatan. Di
depan kantor Harian Disway sudah disediakan wastafel cuci tangan otomastis. Seketika
itu saya bersyukur, gambarnya Pak Dahlan Iskan di wastafel menandakan kalau
saya tidak salah masuk kantor.
Pada akhirnya saya mengutarakan
niat saya untuk membeli harian disway pada seseorang yang menodongkan thermo gun pada dahi saya. Kemungkinan orang
itu adalah penjaga keamanan disana, saya diarahkan untuk masuk lewat pintu
belakang. Mungkin tampang saya yang kurang representatif dan memakai kaos
oblong saya diarahkan tidak masuk lewat pintu utama. Hehhee...
Saya mengikuti arahan dari
mas-mas tadi, sesampainya di bagian belakang kantor Harian Disway saya bingung
sendiri harus kemana. Disana memang banyak orang, namun mereka sibuk dengan kegiatan
mereka mengoperasikan sebuah mesin. Di bagian pojok kantor tersebut ada mesin
kecil yang saya asumsikan bahwa itu adalah mesin cetak. Melihat ukurannya sih sangat
lebih kecil, dibandingkan dengan mesin cetak milik Temrina (perusahaan yang mencetak
koran Jawa Pos).
Mungkin karena mereka sibuk
seakan mereka tidak menyadari kehadiran saya, daripada saya tidak ada yang
merespon, saya berinisiatif untuk masuk ke dalam kantornya. “Permisi...” saya
langsung berusaha menyapa siapapun orang dalam ruangan itu. Langsung tiga sosok
orang yang memakai masker menoleh kearah saya.
Tanpa melihat wajah mereka, saya mampu
mengenali dua dari tiga orang dalam ruangan tersebut. Gekstur tubuh yang sangat
familiar membuat saya langsung bisa menebak mereka siapa. Saya langsung membuka
masker dan menyapa mereka. Sosok yang ternyata adalah para redaktur senior di
Jawa Pos.
Obrolan kamipun tidak berlangsung
lama, saya paham mereka sibuk dengan deadline yang harus mereka kejar. Jadi
saya juga tidak mau mengganggu mereka yang sedang bekerja, seperti basa basi
biasa, mereka tanya kabar dan kesibukan dan saya mengutarakan niat untuk
membeli Harian Disway. Kebetulan saya juga bertemu dengan Direktur Harian
Disway, yang memang orangnya sudah saya kenal sebelumnya, namun beliau nya
ternyata lupa sama saya. Ternyata saya tidak sepopuler itu di Jawa Pos.
Setelah sedikit obrolan akhirnya
saya pulang dengan membawa 20 eksemplar Harian Disway. Saya sudah tidak sabar
membaca media cetak harian ini. Media cetak yang diklaim bukan koran, media
cetak yang katanya diterbitkan bukan untuk tujuan bisnis. Gambaran saya harian
ini bakalan berisi berita jurnalistik yang idealis. Sangat menarik sekali, kalau
zaman sekarang kataya sudah gak sabar buat unboxing dan review.
Keren mas.. di tungguin review nya..
BalasHapusmantap... ayo ngopi
HapusDitunggu FY'S WAY
BalasHapus