Rabu, 22 Juli 2020

Mengintip Harian Disway


Media Cetak Bukan Koran

Sangat menarik memang mengikuti sepak terjang seorang Dahlan Iskan. Saya seseorang yang tumbuh besar dengan kehadiran Jawa Pos disisi saya, dengan sosok Dahlan Iskan sebagai motor  di dalamnya. Sosok yang sebenarnya hanya saya kenal lewat tulisannya ketika saya masih kanak-kanak. Mungkin masih belum bisa disebut menginspirasi, tapi sosok Pak DI sangat akrab di dalam kehidupan.

Saya berharapnya Harian Disway akan sangat berbeda dengan Jawa Pos, dari segi apapun. Saya tidak bisa menyoroti sisi jurnalismenya, karena saya sama sekali tidak punya basic jurnalistik. Saya memang pernah bekerja di Jawa Pos Koran, namun di bagian yang berbeda. Bagian ujung tombak Jawa Pos,  yang konon katanya sangat krusial.

Awal mula mendaftar di Jawa Pos memang sebagai seorang jurnalis, namun karena interviewnya dengan manajer iklan ya akhirnya masuklah ke divisi bisnis Jawa Pos. Awal mulanya saya pikir itu langkah awal saya dalam belajar jurnalistik, setelah ada di dalam saya bakalan mengajukan untuk pindah divisi, itu pikiran saya ketika pertama masuk di Jawa Pos.

Pikiran awal memang akhirnya tidak sejalan dengan kenyataan, keinginan pindah divisi ternyata tetap menjadi sebuah wacana. Entah karena saya merasa nyaman di divisi bisnis Jawa Pos, atau karena hobi saya mencari omzet yang membuat gagal pindah divisi.

Sebenarnya belajar menulis masih saya tekuni di Jawa Pos, setiap ada liputan event yang berkaitan dengan klien untuk kepentingan iklan berusaha saya tulis sendiri. Apalagi di zaman saya bekerja, iklan yang masuk sangat berjibun, sehingga para jurnalisnya pun kewalahan.

Kembali ke Harian Disway, pada akhirnya rasa penasaran saya terbayar lunas untuk mengerti seluk beluk harian ini. Kebetulan acara saya untuk membuat simulasi wedding bersama teman-teman diliput Harian Disway, karena Harian Disway tidak dijual di pinggir jalan maka saya berusaha mencari dimana media cetak ini dijual.

Website resmi mencantumkan informasi untuk berlangganan Harian Disway, disitu juga ditampilkan nomor Whatsapp yang bisa dihubungi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada nomor yang tertera di portal resmi Harian Disway. Respon yang saya dapatnya lumayan cepat, saya disarankan untuk datang ke kantor Harian Disway karena saya berencana membeli secara eceran edisi yang sudah cetak dan dalam jumlah lebih dari satu.
Keesokan harinya jam 10 saya langsung meluncur menuju kantor Harian Disway, sesampainya disana ternyata sudah patuh anjuran pemerintah, pengunjung wajib mengikuti protokoler kesehatan. Di depan kantor Harian Disway sudah disediakan wastafel cuci tangan otomastis. Seketika itu saya bersyukur, gambarnya Pak Dahlan Iskan di wastafel menandakan kalau saya tidak salah masuk kantor.

Pada akhirnya saya mengutarakan niat saya untuk membeli harian disway pada seseorang yang menodongkan thermo gun pada dahi saya. Kemungkinan orang itu adalah penjaga keamanan disana, saya diarahkan untuk masuk lewat pintu belakang. Mungkin tampang saya yang kurang representatif dan memakai kaos oblong saya diarahkan tidak masuk lewat pintu utama. Hehhee...

Saya mengikuti arahan dari mas-mas tadi, sesampainya di bagian belakang kantor Harian Disway saya bingung sendiri harus kemana. Disana memang banyak orang, namun mereka sibuk dengan kegiatan mereka mengoperasikan sebuah mesin. Di bagian pojok kantor tersebut ada mesin kecil yang saya asumsikan bahwa itu adalah mesin cetak. Melihat ukurannya sih sangat lebih kecil, dibandingkan dengan mesin cetak milik Temrina (perusahaan yang mencetak koran Jawa Pos).

Mungkin karena mereka sibuk seakan mereka tidak menyadari kehadiran saya, daripada saya tidak ada yang merespon, saya berinisiatif untuk masuk ke dalam kantornya. “Permisi...” saya langsung berusaha menyapa siapapun orang dalam ruangan itu. Langsung tiga sosok orang yang memakai masker menoleh kearah saya.

Tanpa melihat wajah mereka, saya mampu mengenali dua dari tiga orang dalam ruangan tersebut. Gekstur tubuh yang sangat familiar membuat saya langsung bisa menebak mereka siapa. Saya langsung membuka masker dan menyapa mereka. Sosok yang ternyata adalah para redaktur senior di Jawa Pos.

Obrolan kamipun tidak berlangsung lama, saya paham mereka sibuk dengan deadline yang harus mereka kejar. Jadi saya juga tidak mau mengganggu mereka yang sedang bekerja, seperti basa basi biasa, mereka tanya kabar dan kesibukan dan saya mengutarakan niat untuk membeli Harian Disway. Kebetulan saya juga bertemu dengan Direktur Harian Disway, yang memang orangnya sudah saya kenal sebelumnya, namun beliau nya ternyata lupa sama saya. Ternyata saya tidak sepopuler itu di Jawa Pos.

Setelah sedikit obrolan akhirnya saya pulang dengan membawa 20 eksemplar Harian Disway. Saya sudah tidak sabar membaca media cetak harian ini. Media cetak yang diklaim bukan koran, media cetak yang katanya diterbitkan bukan untuk tujuan bisnis. Gambaran saya harian ini bakalan berisi berita jurnalistik yang idealis. Sangat menarik sekali, kalau zaman sekarang kataya sudah gak sabar buat unboxing dan review.



3 komentar: