Jumat, 31 Juli 2020

Berkorban Demi Bertahan


Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 H. Semoga esensi dari hari raya ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Semoga kita mampu dan sanggup untuk bertahan di era pandemi yang serba tidak tentu ini. 

Siapkan Hewan Kurban, Jangan Korbankan yang lain
Belajar dari Idul adha dan sejarahnya tak lepas belajar bagaimana bersabarnya Nabi Ibrahim AS, begitu sabarnya beliau dengan berbagai ujiannya. Pengorbanannya pun sangat luar biasa, penuh perjuangan dan banyak pengorbanan.

Hari raya kali ini mungkin akan lebih sedikit orang berkurban kambing atau sapi, namun tidak sedikit orang yang berkorban lainnya. Apa itu lainnya? Banyak hal yang bisa kita telisik lebih dalam untuk hal berkorban, apalagi di era sulit saat ini. Semua orang berkorban untuk bertahan hidup saat ini, melewati masa sulit yang entah sampai kapan akan berakhir. Yang pasti tak hanya berkorban perasaan, namun banyak hal lainnya pada masa sekarang dengan sangat terpaksa harus dikorbankan.

Ada obrolan lucu  saya dengan salah satu teman sekitar seminggu kemarin, obrolan yang cenderung lebih mengarah ke guyonan, cerita mengenai perusahaan tempat teman saya bekerja. Teman saya cerita bahwa pada tahun lalu perusahaannya kurban 2 ekor sapi dan 5 ekor kambing. Tapi pada tahun ini perusahaannya sama sekali tidak menyinggung hewan kurban yang akan disembelih pada hari raya Idul Adha tahun ini. Entah memang jumlahnya dikurbankan atau akan mengkurbankan sesuatu yang lain.

Pada saat itu saya menganggapnya sebagai sebuah guyonan, tapi ternyata guyonannya tidak semudah itu. Menelisik pada keadaan ekonomi yang semakin tidak jelas ini membuat saya berpikir lebih dalam lagi. Apa yang akan terjadi di bulan Agustus atau September mendatang? Indonesia memang kemungkinan besar tak mampu lolos dari jurang resesi, mengingat perekonomian masih belum bisa bangkit. Dana stimuli adalah satu-satunya jalan bagi pemerintah untuk menyelamatkan kapal besar ini dari resesi. Tapi apakah waktu dua bulan ini mampu memperbaiki keadaan? Saya rasa akan sangat sulit sekali untuk upaya penyelamatan ini.

Perusahaan teman saya bekerja mungkin bukan satu-satunya perusahaan yang tidak menyembelih hewan kurban pada tahun ini, mungkin mereka akan menyembelih korban yang lain. Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Kurban atau korban?

Banyak perusahaan yang diam-diam sudah melakukan langkah strategis, mereka akan berkorban banyak hal untuk tetap bertahan di era pandemi seperti ini. Sejak pandemi pada awal Maret tahun ini, sudah terlihat beberapa perusahaan mengalami dampak, memang pada mulanya dampak tidak signifikan, namun sejak diberlakukannya PSBB di berbagai daerah dampak itu mulai terasa lebih nyata.

Perusahaan-perusahaan memang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam bertahan di era krisis, terutama dalam kemampuan finansial. Perusahaan kecil atau besar tidak jaminan kuat secara finansial, perusahaan yang terlihat besar pun kadang kemampuan bertahan secara finansialnya sangat lemah, begitu juga sebaliknya. Perusahaan kecil belum tentu tak mampu bertahan, mereka justru mudah bertahan di era sekarang ini.

Rapat-rapat dan diskusi internal perusahaan mungkin sudah dilakukan selama beberapa bulan terakhir, proyeksi bisnis sudah mulai digambarkan. Langkah strategis harus segera ditempuh sebagai upaya penyelamatan. Menyelamatkan pendapatan perusahaan adalah hal yang paling utama yang harus dilakukan, perusahaan harus mampu membiayai operasional nya yang sangat besar. Memang ini menjadi langkah paling susah untuk dilakukan, ada langkah yang paling mudah dilakukan, namun langkah ini paling dibenci juga.

Langkah paling mudah dalam bertahan adalah melakukan efisiensi, dan itu mungkin akan menjadi jalan yang paling utama untuk ditempuh. Dalam rangka efisiensi perusahaan pasti akan mempertimbangkan pengurangan biaya yang paling besar dalam yang dikeluarkan oleh perusahaan, dalam hal ini biasanya adalah gaji pegawai. Hal ini yang menjadi sorotan pertama dalam melakukan efisiensi. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan pengurangan gaji atau paling ekstrem lagi adalah pengurangan karyawan.

Sekitar satu atau dua bulan kedepan kita akan sering mendengar sebuah berita tidak menyenangkan, entah itu cerita dari keluarga atau kawan, bahkan berita di televisi. Berita tidak menyenangkan itu tentang perusahaan yang melakukan efisiensi dengan mengurangi gaji karyawan atau bahkan mengurangi jumlah karyawan itu sendiri. Berita ini akan lebih sering kita dengar dalam jangka waktu dua bulan kedepan.

Saya berharapnya sih tidak mendengar berita tidak menyenangkan itu, tapi dengan kondisi seperti sekarang, masih belum ada perubahan yang cukup signifikan untuk menyelamatkan hal itu. Saya pikir satu atau dua bulan kedepan keadaan masih tetap sama. Semoga para perusahaan berkurbannya pada bulan ini saja, jangan sampai korbannya akan disembelih pada bulan depan atau dua bulan kedepan.

Selasa, 28 Juli 2020

Simulasi Lahirkan Solusi?


Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Jawa Timur menyelenggarakan simulasi pameran dengan protokoler kesehatan pada hari Senin 27 Juli 2020 lalu. Simulasi ini diadakan untuk memberikan gambaran pameran di era normal baru.
pasar malam tetap berjalan tanpa larangan kebijakan




Simulasi terselenggara dengan lancar, penerapan protokoler kesehatan pun terlihat disana. Mulai dari adanya chamber disinfektan di pintu masuk pameran, tersedianya hand sanitizer dan pengecekan suhu tubuh bagi para pengunjung pameran. Tidak hanya itu, gangway pameran pun dibuat lebih besar dari biasanya, hal ini guna meminimalisir kerumunan, agar pengunjung dapat menjaga jarak mereka masing-masing. Protokoler kesehatan ini diterapkan bagi pengunjung dan peserta pameran. Hal ini dilakukan guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi peserta pameran maupun pengunjung pameran.  

Simulasi diadakan guna mengakomodir kepentingan dari para anggota Asperapi itu sendiri. Sejak pandemi, bisnis anggota Asperapi mulai terganggu, diterapkannya larangan berkegiatan dan berkerumun, serta mengundang massa pun ditunda atau ditiadakan. Jelas kebijakan ini mematikan pendapatan para pekerja event.

Penerapan PSBB pun menambah rumit permasalahan, ekonomi semakin turun, ancaman resesi sudah tersaji di depan mata. Pemerintah semakin panik dihadapkan dengan sebuah dilema penyelamatan kesehatan ataukah penyemalatan permasalahan ekonomi. Solusi pun sampai hari ini masih sebuah angan.

Mengacu pada angka pasien positif yang terpapar virus corona memang masih belum menunjukkan tanda-tanda gelombangnya melandai, per hari ini pasien positif sudah mencapai angka lebih dari 100 ribu. Itu bukan angka yang kecil, mengingat penambahannya setiap hari mencapai titik tertinggi baru.

Ketakutan-ketakutan itupun semakin menghantui, bahkan ketakutan ini seakan membuat para pemangku kepentingan enggan membuat kebijakan yang akan membahayakan banyak orang. Bukan hanya mereka takut dipersalahkan atas kebijakan yang keliru, namun mereka takut menjadi bagian dari penambahan angka positif covid.

Jerman malah lebih ekstrem lagi, mereka akan menyelenggarakan konser yang akan dihadiri oleh 4000 orang. Konser ini diadakan dengan melibatkan para ilmuwan Jerman guna meneliti dampak penyebaran covid pada acara konser indoor.

Peneliti dari Universitas Martin Luther Halle-Wittenberg ingin mempelajari bagaimana virus tersebut dapat menyebar dalam acara publik yang besar. Mereka menghadirkan para sukarelawan dan melihat apakah acara besar dapat dilaksanakan dengan tanpa ikut menyebarnya virus corona.

Banyak syarat untuk menjadi para sukarelawan konser, pertama mereka harus berumur antara 18 sampai 50 tahun dan harus berstatus negatif COVID-19 setidaknya 48 jam sebelum konser dimulai. Selama konser, para pengunjung harus menggunakan masker. Para penonton pun nantinya akan diberikan hand sanitizer yang mengandung fluorescent sehingga dapat menyala. Penonton akan dapat melihat daerah mana yang paling sering disentuh.

Jerman memang terkenal dengan para ilmuwannya, ujicoba yang dilaksanakan hampir di segala bidang kehidupan. Penelitian tentang banyak hal dilakukan di negara maju tersebut. Ketika pandemi seperti saat ini semua lini seakan berkolaborasi untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Permasalahan di bidang konser dan pameran yang mendatangkan massa bukan jadi masalah para penyelenggara acara saja, namun para ilmuwan disana berkontribusi besar dalam ikut memecahkan permasalahan tersebut.

Berbeda dengan Indonesia, anggaran bidang pendidikannya sangat miris, apalagi untuk penelitian, mungkin sangat memprihatinkan. Pada pandemi saat ini, belum terlihat kolaborasi dari berbagai pihak yang digagas oleh pemerintah. Sifatnya saat ini penyelesaian masalah hanyalah dana bantuan langsung saja. Belum ada hal-hal yang bersifat menghadirkan solusi teknis.

Terlihat jelas pada saat Asperapi berusaha meyakinkan pemangku kebijakan untuk menyelenggarakan pameran di era baru. Yang berkolaborasi disana hanyalah para anggota Asperapi, mereka tidak melibatkan elemen lain di dalamnya. Seharusnya dalam hal ini pemerintah yang memfasilitasi untuk kolaborasi antar lini. Para peneliti dilibatkan untuk membuat standarisasi pameran di era normal baru.

Perekonomian perlu diselamatkan, namun paling terpenting adalah penyelamatan kesehatan masyarakat. Hal ini menjadi sebuah dilematis yang cukup membingungkan untuk semua kalangan. Kebijakan yang diambil seakan bagai makan buah simalakama, akan terus bertentangan, akan terus menghasilkan dampak positif dan negatif.

Asperapi telah melakukan simulasi, harapannya jelas ada ijin untuk menyelenggarakan pameran kedepannya. Pertanyaan menariknya adalah, ketika penyelenggaraan pameran masih jadi polemik yang akan melibatkan kebijakan untuk kembali berjalan, kenapa pasar malam yang menghadirkan massa dalam jumlah yang sama besar sudah kembali dibuka?

Minggu, 26 Juli 2020

Giants Must Learn How to Dance


Menarik sekali ketika pada hari Sabtu tanggal 25 Juli 2020, saya mendapat kesempatan untuk menjadi moderator webinar yang dilaksanakan oleh Airlangga Business Community (ABC). Untuk narasumbernya teryata orang hebat. Theo Lekatompessy adalah alumni Unair yang sepak terjangnya sudah tidak diragukan lagi, saat ini beliau menjabat sebagai Komisaris Independent di empat perusahaan berbeda, selain itu banyak jabatan lainnya yang tidak kalah penting diemban beliau.

Tema webinar yang diangkat mengenai Manajemen Keuangan Perusahaan, Untuk Bangkit dari Krisis. Saya pikir seminarnya akan berjalan serius dengan pembahasan kearah Indonesia menuju resesi, atau seminar yang berkaitan dengan istilah-istilah teknis di bidang keuangan yang kemungkinan saya tidak memahami hal tersebut. Tapi sungguh mengejutkan, webinar berjalan menarik dan interaktif.

Pak Theo yang tanpa slide presentasi justru lebih banyak bercerita tentang gambaran dunia usaha saat ini. Bagaimana perkembangan dunia usaha yang terjadi pada saat krisis sudah menggerogoti perkembangannya. Ada kalimat menarik dari Pak Theo diawal pembuka webinar, tentang diskusi dengan rekannya. Topik diskusi itu berkenaan dengan keadaan sekarang, Interupsi atau Diskontinuasi.

Perumpamaan Pak Theo pun memberikan gambaran lain pada kondisi saat ini. Pada awalnya saya mengira pandemi ini tidak akan berdampak cukup luas seperti ini. Namun selain dampaknya luas, dampaknya pun melebar kemana-mana. Semula yang hanya menjadi permasalahan kesehatan, sekarang malah menjadi sebuah ancaman ekonomi.

Sejak Maret kejadian pandemi ini sudah melanda Indonesia, sudah empat bulan lamanya permasalahan kesehatan ini membuat pusing seluruh orang di dunia. Ekonomi mulai goyah, Singapura dan Korea Selatan sudah menyatakan resesi. Indonesia masih belum, masih ada upaya penyelamatan yang bisa dilakukan.

Mungkin Interupsi adalah kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan persepsi orang-orang hari ini. Bisnis yang jalannya melambat, menjadi banyak perusahaan tahan nafas dan melakukan efisiensi. Harapan masih dijunjung tinggi oleh para pebisnis pada hari ini, mereka berharap semuanya akan kembali normal dan bisnis kembali seperti sedia kala.

Saya pun sama berpikir demikian, memang hal ini akan menjadi sementara sifatnya, namun sampai kapan? Pada webinar tersebut Pak Theo menggambarkan ketika bisnis sudah masuh discontinuasi, ini yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Mungkin banyak orang yang tidak memikirkannya juga, mereka lupa menganalisis kejadian ini pada bisnisnya masing-masing.

Discontinuasi pada bisnis bisa berakibat fatal jika kita tidak menyadari hal tersebut, sama halnya ketika kita tidak mengetahui kapal kita bocor, dan air mulai memasuki kapal, kita tidak tahu kapal kita bocor, tiba-tiba kapal kita tenggelam saja. Fase discontinuasi pada bisnis mungkin untuk sebagian orang akan dihiraukan, mereka menganggap semuanya akan baik-baik saja, tanpa melakukan analisa dan sebuah langkah strategis.

Mungkin kapal kita berbeda dalam hal ini, banyak kapal besar untuk menggambarkan sebuah bisnis besar, ada juga kapal-kapal kecil untuk menggambarkan sebuah bisnis kecil. Di era pandemi ini seberapa kapalnya tidak jaminan untuk tetap berlayar. Ada kalimat menarik yang tersebar di sosial media, “mungkin kita berada kapal yang berbeda, ada kapal yang besar, ada kapal yang kecil, tapi kita berada pada sebuah badai yang sama”.

Kapal kecil mungkin lebih mudah melakukan manuver dalam keadaan badai seperti ini, namun berbeda dengan kapal besar. Mereka mungkin akan kesulitan dalam melakukan sebuah manuver. Selain jumlah muatannya banyak, kapal besar tak serta merta dapat mengubah arah tujuan dengan mudah.

Kapal  kecil biasanya dinahkodai oleh seorang yang sekaligus pemilik kapal, berbeda dengan kapal besar, nahkoda dan pemilik kapal adalah orang yag berbeda. Ketika kapal kecil melakukan manuver, merak tanpa birokrasi yang panjang dan tanpa pertimbangan yang lama langsung melakukan manuver tersebut dengan lincahnya. Kapal besar? Mungkin Sang Nahkoda sudah bisa memprediksi sebesar apa badai yang dihadapi, ketika dia akan melakukan manuver banyak proses dan prosedural yang harus dijalankan.

Banyak yang berpikiran bahwa sebuah kapal besar akan aman dalam melewati badai, namun mereka lupa bahwa kapal besar memiliki muatan yang besar pula, banyak penumpang juga di dalamnya. Ini yang dimaksud Pak Theo pada webinar lalu, kalimat beliau tentang “Giants Must Learn How to Dance” adalah sebuah pukulan keras buat para pebisnis yang memiliki kapal besar.

Mengajarkan raksasa untuk belajar berdansa akan menjadi sebuah kesulitan tersendiri, menimbulkan keinginan mereka belajar berdansa pun mungkin hal yang mustahil. Belum lagi belajarnya, terus bisa berdansanya kapan? Sebelum mereka berdansa mungkin mereka sudah tumbang. Apalagi untuk raksasa yang memiliki badan yang besar, berdansa pun gerakannya tidak akan cepat lincah. Perlu proses, perlu waktu dan perlu banyak pengorbanan.



Jumat, 24 Juli 2020

Dimas Sekolah Sendiri, Nadiem Ditinggal Pergi


Dimas datang ke sekolah dan belajar sendirian, video yang lagi viral dan diperbincangkan oleh banyak warganet merupakan gambaran dari cerminan pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan memang masih banyaknya siswa yang tidak mampu maksimal dalam pembelajaran daring. Terbatasnya fasilitas menja sebuah hambatan dalam mencari ilmu.

Apakah masih banyak Dimas yang lain? Dimas adalah sosok yang berhasil terekam dan menjadi perbincangan banyak orang, namun sebenarnya masih banyak para siswa yang bingung belajar daring seperti apa? Fasilitas yang tidak mampu mereka penuhi jadi salah satu penghambat utama.

Seperti cerita Dimas, seorang pelajar SMP yang baru saja masuk sekolah. Atas inisiatif sendiri Dimas dan ibunya datang ke sekolah, rumah dan sekolah Dimas memang berjarak tidak terlalu jauh. Sesampainya di sekolah Dimas langsung menuju ke ruang guru untuk mengutarakan niatnya. Dimas tak punya ponsel pintar untuk mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Pihak sekolah Dimas pun mengijinkan Dimas untuk belajar di sekolah, permasalahan yang luar biasa kompleks masih menghantui di Indonesia.

Sangat mudah memang, ketika pada waktu lalu Mas Menteri menyatakan bahwa pembelajaran daring bisa jadi permanen, entah pernyataan itu berdasarkan fakta dan data yang menunjang, ataukah sekedar sebuah pernyataan yang lahir dari sebuah gambaran Jakarta atau kota besar sebagai tolok ukurnya?

Keputusan yang kadang memuat bingung dasar pertimbangannya seperti apa, apakah sudah ada gambaran yang dihasilkan dari sebuah keputusan ataukah keputusan itu asal diputuskan tanpa ada sebuah proyeksi keberhasilan yang jelas.

Pendidikan adalah pondasi, membuat keputusan yang salah sama dengan mempertaruhkan generasi penerus bangsa. Apa yang dilakukan harus benar-benar dipikirkan secara matang, dikaji secara dalam dan memiliki keputusan yang bisa menjadi solusi di berbagai kalangan.

Kebijakan yang diharapkan menjadi solusinya pun masih belum bisa menyentuh semua kalangan. Entah memang solusi yang dibuat memang untuk kota besar atau memang untuk seluruh Indonesia, saya kurang paham. Sekarang banyak persoalan yang menjadi kendala, yang paling sederhana adalah masalah yang dihadapi Dimas, ponsel pintar pun Dimas tak punya, orang tuanya tidak ada uang untuk membeli ponsel pintar. Jangankan ponsel pintar, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pasti mereka mengalami kesulitan.

Siswa yang sekolah itu bukan hanya di kota besar, Indonesia yang sangat luas ini memiliki sekolah-sekolah di pedalaman yang sama sekali belum tersentuh dengan internet. Pembelajaran Jarak Jauh yang memerlukan akses internet takkan mampu diaplikasikan disana. Jangankan daerah pedalaman yang terpencil, di kota besar pun permasalahannya sebenarnya masih banyak.

Di kota besar memang tidak bisa dipungkiri jaringan internet pasti bukan lagi kendala, jaringan yang kuat menjadi penunjang pembelajaran daring. Itu bagi yang punya ponsel pintar, bagaimana yang tidak punya? Mungkin masih banyak yang nyinyir, hidup di kota besar masa gak punya hape? Biasanya yang nyinyir kayak gini ngopinya kurang jauh, temennya kurang banyak, atau orang yang sangat egois, sehingga tak melihat lingkungan di sekitarnya.

Orang yang tidak punya ponsel pintar di kota besar masih ada, mereka tidak memiliki ponsel karena itu bukan kebutuhan mereka. Orang-orang seperti ini membeli prioritas kebutuhan untuk keluarga, dalam hal ini adalah pangan. Mereka bekerja untuk mencukupi pangan satu keluarga, berusaha membiayai anak-anak mereka sekolah.

Belum lagi untuk sebuah kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh yang memerlukan kuota internet yang tidak sedikit. Apakah efektif? Pasti efektif dalam meningkatkan omzet provider. Satu kali kegiatan belajar secara daring, yang dimulai dari pagi pukul 07.00 sampai siang 12.00 memerlukan kuota berapa? Kan ada paket internet unlimited? Pakai itu saja per bulannya sudah cukup. Apakah cukup? Apakah benar unlimited?

Coba dijawab untuk teman-teman para provider, apakah paket internet yang kalian jual benar-benar unlimited? Mohon klarifikasinya, setahu saya paket unlimited masih memiliki batas maksimal penggunaan internet. Setelah melampaui batas tersebut ya jelas internet mulai lemot untuk membuka browser, padahal pembelajaran jarak jauh itu biasanya menggunakan video call interaktif. Kuota yang dihabiskan untuk kegiatan ini tidaklah sedikit, selain itu jaringannya haruslah stabil. Tidak mungkin paket unlimited yang melewati batas kuota tertentu bisa digunakan untuk ini.

Ada juga keluarga yang mempunyai anak usia sekolah atau kuliah lebih dari satu. Mereka harus menunjang kebutuhan Pembelajaran Jarak Jauh mereka. Misalnya sebuah keluarga punya anak usia sekolah SD dan SMP, namun orang tua mereka hanya punya sebuah ponsel pintar, terus yang terjadi adalah jam pembelajaran jarak jauh mereka bersamaan. Apa yang harus dilakukan keluarga ini? Beli ponsel pintar lagi? Bisa jadi, mereka memaksakan diri membeli ponsel pintar dan kuota internet untuk anak mereka sekolah, namun di sepertiga malam mereka menangis di  dalam sujudnya. Berharap ada rejeki untuk menyambung hidup keluarganya.

Program Organisasi Penggerak (POP), mungkin inilah kebijakan extraordinary dari Mas Menteri yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Program yang melibatkan peran organisasi kemasyarakatan untuk gotong royong meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut Mas Menteri ini adalah program turunan dari Merdeka Belajar. Kabar terakhir program ini banyak ditinggalkan pesertanya. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menarik diri dari salah program Kemendikbud ini.

Mas Menteri sesungguhnya punya riwayat cerdas di atas rata-rata, lulusan luar negeri pula. Ditempatkannya Mas Menteri di Bidang Pendidikan mempunyai harapan besar, percepatan pengembangan dunia pendidikan dengan gagasan out of the box dan extraordinary. Namun sampai hari ini belum ada panduan yang jelas bagaimana seharusnya memanajemeni dunia pendidikan di era pandemi. Semua solusi yang tidak out of the box mengarah ke pembelajaran daring.



Kamis, 23 Juli 2020

Klaimnya Bukan Koran

Akhir Juni  saya dikejutkan dengan kabar Dahlan Iskan akan menerbitkan sebuah media cetak. Sang Maestro di industri surat kabar ini memberikan sebuah pernyataan bahwa yang dibuatnya adalah media cetak dan bukan koran.

Sudah tidak sabar sebenarnya untuk membaca Harian Disway, yang konon katanya diklaim bukan koran. Kalau bukan koran, terus apa? Majalah? Tabloid? Dalam pikiran saya mulai menelisik dan mencari jawaban.

Katanya media cetak yang terbit harian, berarti koran donk? Mulai lagi pikiran saya berkecamuk. Melihat foto ilustrasi yang ditampilkan di website resminya https://harian.disway.id/ memang penampakannya jauh dari koran, lebih cenderung mirip majalah. 

Menariknya lagi adalah kalimat pembuka dari Dahlan Iskan di website resminya “Inilah media yang diterbitkan tidak untuk tujuan bisnis”. Sebuah kalimat yang menurut saya sangat idealis sekali, sangat menarik mendengar kalimat tersebut, mengingat media cetak sekarang idealismenya sudah ditumpangi dengan kepentingan bisnis.

Pada akhirnya saya berkesempatan mengintip harian disway, tidak mengejutkan kalau disana memang dimotori oleh para senior Jawa Pos. Akhirnya saya mendapatkan media cetak harian yang sempat mengusik rasa penasaran saya. Seperti apa Harian Disway?

Dari sisi jurnalisme mungkin saya tidak berhak untuk memberikan komentar, meskipun saya sempat bekerja di Jawa Pos tapi posisi saya bukanlah seorang jurnalis. Saya hanya seorang pekerja di bagian sales iklan Jawa Pos. Namun dari sisi jurnalisme saya yakin Harian Disway tidak akan kehilangan kualitasnya, karena yang memantau Dahlan Iskan langsung.

Saya sedikit mereview dan mengunboxing Harian Disway dari segi bisnisnya saja, karena ketika saya berbicara mengenai jurnalistik maka akan banyak komentar netijen yang meragukan keilmuan saya. Itu bukan ranah saya, saya orang ekonomi, mungkin akan tepat jika saya menutarakan uneg-uneg di bidang ekonomi saja.

Pengalaman saya di indutri media seakan memberikan gambaran yang cukup luas terhadap jalannya bisnis ini. Ketika kita ngomong tentang media, kita tidak bisa mengenyampingkan sisi bisnisnya. Jika diibarat sebuah mesin, media ini butuh bahan bakar untuk tetap hidup dan berjalan. Menariknya lagi seperti yang saya utarakan diawal, ada sebuah statement Pak Dahlan mengenai Harian Disway yang tidak diterbitkan untuk tujuan bisnis. Menjadi kalimat menarik yang penuh tanda tanya besar.

Sempat terpikir untuk melamar pekerjaan sebagai marketing disana, namun sepertinya lowongan itu tidak ada. Hehehee.... Model bisnis yang dijalankan Harian Disway seperti apa saya kurang tahu, tapi akan sangat menarik jika saya punya kesempatan ngobrol masalah ini dengan Abah Dahlan Iskan langsung.  

Seperti yang sudah saya ketahui sebelumnya, media cetak mendapatkan pemasukkan utama dari iklan dan banyaknya penjualan media cetaknya. Untuk seberapa banyak jumlah pelanggan yang dihasilkan pun masih berkontribusi minimal untuk pemasukan perusahaan. Pendapatan dari iklan adalah penopang omzet terbesar dari sebuah media.

Beberapa tahun bekerja disana, saya telah menghasilkan milyaran rupiah untuk koran Jawa Pos, per bulannya saja omzet saya bisa mencapai dua milyar, itu untuk satu marketing saja. Kontribusi itu masih sangat sedikit sekali karena Jawa Pos merupakan organisasi yang sangat besar. Omzet yang saya hasilkan ibarat sisa remahan rengginang di toples hari raya.

Saya masih ingat pada tahun 2015 omzet yang dihasilkan dari iklan di Jawa Pos mencapai 450 Milyar, jumlah yang sangat luar biasa untuk sebuah perusahaan media. Banyak alternatif iklan yang ada di koran pada waktu itu, ada iklan display, advertorial, dan iklan baris. Iklan display sendiri adalah favorit buat para brand besar. Iklan Advertorial masih tergolong baru di Jawa Pos, namun iklan ini mendapatkan sambutan positif dari klien, karena mereka bisa memberikan pemahan yang lebih detail kepada calon konsumen mereka.

Kembali ke Harian Disway, kalau memang media ini bukan untuk tujuan bisnis, sebenarnya tujuannya apa? Terus bisa hidupnya dari mana? Apakah media ini sifatnya temporary? Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya. Mungkin masih belum bisa terjawab sebelum saya bertemu langsung dengan Pak Dahlan Iskan.

Banyak kalangan yang sudah memprediksi senjakala media cetak sejak lama, pada saat saya aktif di Jawa Pos pun sudah ada beberapa media cetak kondang yang mulai gulung tikar. Pada tahun 2015 Harian Bola yang sudah menjadi salah satu sumber berita saya tentang berita olahraga menyatakan itu menjadi edisi terakhir mereka. Menyusul pada awal Januari 2016 koran Sinar Harapan pun menyatakan hal yang sama. Disitulah saya mulai berpikir sampai kapan media cetak akan bertahan ditengah gempuran teknologi yang semakin canggih.

Memang Dahlan Iskan tidak pernah absen seharipun menulis di website nya www.diway.id , sebuah portal digital yang hampir setiap hari saya buka untuk menikmati kerinduan akan tulisan Pak DI. Konon kabarnya website ini mempunyai traffic yang luar biasa setiap harinya, pembaca militan Pak DI selalu mengunjungi website ini setiap harinya, termasuk saya. Dari sini sih seharusnya sudah bisa tergambarkan pilihan media dari masyarakat hari ini. Tapi kenapa kok balik lagi ke media cetak Abah?

Membuat channel youtube saya kira adalah jawaban dari pengembangan www.disway.id , saya sempat terkecoh disini. Media kebanyakan memanfaatkan sosial media, youtube dan website untuk mempublish kontennya, berbeda dengan Abah DI yang tiba-tiba balik ke media cetak.

Saya takutnya media ini hanya tentang sebuah perwujudan eksistensi, sebuah media idealis jurnalisitik yang bertumpu pada dana pribadi. Bukannya saya tidak mendukung Harian Disway, saya sangat menikmati karya Harian Disway, namun saya sangat menyayangkan jika model bisnisnya kurang kuat. Namanya bisnis harus bisa menghasilkan keuntungan, paling tidak mampu membiayai biaya operasional, bukannya tekor.

Waktu webinar Dahlan Iskan bersama Tung Desem Waringin ada kalimat pernyataan abah yang menarik bagi saya. Abah DI menyoroti media online yang kesulitan mendapatkan revenue, abah berpendapat bahwa media online hanya numpang lewat, dan yang memperoleh revenue adalah SI Google itu sendiri. Dalam webinar itu juga Dahlan Iskan mengatakan Harian Disway akan muncul versi online nya, dimana akan memperoleh pendapatan dari sana tanpa harus disedot oleh Google, Facebook dan semacamnya.

Akan menarik sebenarnya melihat kiprah Harian Disway tiga bulan kedepan, seperti yang dijanjikan Dahlan Iskan, versi online akan tayang tiga bulan kedepan. Harian Disway harus mampu mempertahankan kualitas jurnalistik dengan revenue yang bisa menopang biaya operasional dari media ini. Seperti apa itu? Saya pun sudah tidak sabar menantikan itu.

Rabu, 22 Juli 2020

Mengintip Harian Disway


Media Cetak Bukan Koran

Sangat menarik memang mengikuti sepak terjang seorang Dahlan Iskan. Saya seseorang yang tumbuh besar dengan kehadiran Jawa Pos disisi saya, dengan sosok Dahlan Iskan sebagai motor  di dalamnya. Sosok yang sebenarnya hanya saya kenal lewat tulisannya ketika saya masih kanak-kanak. Mungkin masih belum bisa disebut menginspirasi, tapi sosok Pak DI sangat akrab di dalam kehidupan.

Saya berharapnya Harian Disway akan sangat berbeda dengan Jawa Pos, dari segi apapun. Saya tidak bisa menyoroti sisi jurnalismenya, karena saya sama sekali tidak punya basic jurnalistik. Saya memang pernah bekerja di Jawa Pos Koran, namun di bagian yang berbeda. Bagian ujung tombak Jawa Pos,  yang konon katanya sangat krusial.

Awal mula mendaftar di Jawa Pos memang sebagai seorang jurnalis, namun karena interviewnya dengan manajer iklan ya akhirnya masuklah ke divisi bisnis Jawa Pos. Awal mulanya saya pikir itu langkah awal saya dalam belajar jurnalistik, setelah ada di dalam saya bakalan mengajukan untuk pindah divisi, itu pikiran saya ketika pertama masuk di Jawa Pos.

Pikiran awal memang akhirnya tidak sejalan dengan kenyataan, keinginan pindah divisi ternyata tetap menjadi sebuah wacana. Entah karena saya merasa nyaman di divisi bisnis Jawa Pos, atau karena hobi saya mencari omzet yang membuat gagal pindah divisi.

Sebenarnya belajar menulis masih saya tekuni di Jawa Pos, setiap ada liputan event yang berkaitan dengan klien untuk kepentingan iklan berusaha saya tulis sendiri. Apalagi di zaman saya bekerja, iklan yang masuk sangat berjibun, sehingga para jurnalisnya pun kewalahan.

Kembali ke Harian Disway, pada akhirnya rasa penasaran saya terbayar lunas untuk mengerti seluk beluk harian ini. Kebetulan acara saya untuk membuat simulasi wedding bersama teman-teman diliput Harian Disway, karena Harian Disway tidak dijual di pinggir jalan maka saya berusaha mencari dimana media cetak ini dijual.

Website resmi mencantumkan informasi untuk berlangganan Harian Disway, disitu juga ditampilkan nomor Whatsapp yang bisa dihubungi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada nomor yang tertera di portal resmi Harian Disway. Respon yang saya dapatnya lumayan cepat, saya disarankan untuk datang ke kantor Harian Disway karena saya berencana membeli secara eceran edisi yang sudah cetak dan dalam jumlah lebih dari satu.
Keesokan harinya jam 10 saya langsung meluncur menuju kantor Harian Disway, sesampainya disana ternyata sudah patuh anjuran pemerintah, pengunjung wajib mengikuti protokoler kesehatan. Di depan kantor Harian Disway sudah disediakan wastafel cuci tangan otomastis. Seketika itu saya bersyukur, gambarnya Pak Dahlan Iskan di wastafel menandakan kalau saya tidak salah masuk kantor.

Pada akhirnya saya mengutarakan niat saya untuk membeli harian disway pada seseorang yang menodongkan thermo gun pada dahi saya. Kemungkinan orang itu adalah penjaga keamanan disana, saya diarahkan untuk masuk lewat pintu belakang. Mungkin tampang saya yang kurang representatif dan memakai kaos oblong saya diarahkan tidak masuk lewat pintu utama. Hehhee...

Saya mengikuti arahan dari mas-mas tadi, sesampainya di bagian belakang kantor Harian Disway saya bingung sendiri harus kemana. Disana memang banyak orang, namun mereka sibuk dengan kegiatan mereka mengoperasikan sebuah mesin. Di bagian pojok kantor tersebut ada mesin kecil yang saya asumsikan bahwa itu adalah mesin cetak. Melihat ukurannya sih sangat lebih kecil, dibandingkan dengan mesin cetak milik Temrina (perusahaan yang mencetak koran Jawa Pos).

Mungkin karena mereka sibuk seakan mereka tidak menyadari kehadiran saya, daripada saya tidak ada yang merespon, saya berinisiatif untuk masuk ke dalam kantornya. “Permisi...” saya langsung berusaha menyapa siapapun orang dalam ruangan itu. Langsung tiga sosok orang yang memakai masker menoleh kearah saya.

Tanpa melihat wajah mereka, saya mampu mengenali dua dari tiga orang dalam ruangan tersebut. Gekstur tubuh yang sangat familiar membuat saya langsung bisa menebak mereka siapa. Saya langsung membuka masker dan menyapa mereka. Sosok yang ternyata adalah para redaktur senior di Jawa Pos.

Obrolan kamipun tidak berlangsung lama, saya paham mereka sibuk dengan deadline yang harus mereka kejar. Jadi saya juga tidak mau mengganggu mereka yang sedang bekerja, seperti basa basi biasa, mereka tanya kabar dan kesibukan dan saya mengutarakan niat untuk membeli Harian Disway. Kebetulan saya juga bertemu dengan Direktur Harian Disway, yang memang orangnya sudah saya kenal sebelumnya, namun beliau nya ternyata lupa sama saya. Ternyata saya tidak sepopuler itu di Jawa Pos.

Setelah sedikit obrolan akhirnya saya pulang dengan membawa 20 eksemplar Harian Disway. Saya sudah tidak sabar membaca media cetak harian ini. Media cetak yang diklaim bukan koran, media cetak yang katanya diterbitkan bukan untuk tujuan bisnis. Gambaran saya harian ini bakalan berisi berita jurnalistik yang idealis. Sangat menarik sekali, kalau zaman sekarang kataya sudah gak sabar buat unboxing dan review.



Indonesia Siap Jemput Resesi

PSBB memang sudah dicabut di beberapa daerah, namun perekonomian tak kunjung membaik. Masih rendahnya tingkat konsumsi di masyarakat menjadikan ekonomi enggan tumbuh dan cenderung mengarah ke trend yang negatif.

Resesi cetak pengangguran lebih banyak dari sebelumnya
Ditambah lagi Singapura sudah menyatakan resesi, ketakutan akan menularnya resesi ke Indonesia menjadikan para investor semakin panik. Stimuli pemerintah? Entah kapan cairnya? Belum tentu juga dapat menopang perekonomian untuk tidak jatuh ke jurang resesi.

Sebenarnya sejak tahun lalu Indonesia sudah diramalkan akan terjerumus di jurang resesi. Resesi global menjadi pemicu Indonesia juga akan terdampak, namun pemerintah masih optimis Indonesia tidak terdampak resesi.

Pandemi mempercepat Indonesia menuju jurang resesi, sudah dua kuartal di tahun 2020 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh melambat. Di kuartal pertama sudah terkontraksi di angka  2,97 %. Terkoreksi tajam sebesar 2% dibandingkan kuartal 4 tahun 2019. Begitu juga dengan kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi seakan semakin lambat hingga menyentuh angka -4,3 %, jauh melebihi proyeksi pemerintah di angka -3,8%.

Kuartal tiga menjadi pertaruhan pemerintah, apakah Indonesia akan terjerumus di jurang resesi atau tidak? Para ekonom sudah memprediksi Indonesia tidak akan mampu menghindari jurang resesi, Indonesia akan melenggang tanpa perlawanan menuju jurang resesi di kuartal 3.

Sebenarnya resesi sendiri adalah istilah teknis yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun, kondisi kemerosotan ini yang disebut resesi. Kuartal tiga yang memiliki rentang waktu Juli sampai September diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Dalam kurun waktu dua bulan apakah memungkinkan pertumbuhan ekonomi akan keluar dari angka negatif? Bisa saja, tergantung kebijakan dari pemerintah. Resesi dalam hal ini bisa diibaratkan sebuah penyakit, dan pemerintah bisa diibaratkan sebagai dokternya. Kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah di kuartal tiga ini merupakan obat yang ditujukan untuk menyembuhkan penyakit resesi. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah ini obat yang diberikan tepat?

Indonesia dengan keunikannya memiliki karakterisitik ekonomi yang berbeda dengan negara lainnya. Dibandingkan dengan Singapura yang sudah menyatakan resesi, Indonesia jelas memiliki perbedaan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dalam negeri. Jumlah konsumsi domestik sendiri berpengaruh sangat besar, karena mendominasi sebesar 58,14% terhadap perekonomian nasional di kuartal pertama 2020, ini yang membuat Indonesia berbeda dengan negara lainnya.

Jika Singapura mengandalkan perdagangan global, Indonesia justru bertumpuh pada konsumsi domestik. Ekspor Indonesia sendiri di kuartal pertama tahun 2020 hanya 17,43% dari keseluruhan pertumbuhan PDB Indonesia. Bisa diprediksi pengaruh eksternal akan sangat kecil dibandingkan dengan konsumsi domestik.

Para ekonom juga sepakat bahwa kuartal tiga ini belanja pemerintah bisa menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi? Apakah benar demikian? Apakah serapannya mampu menggerakkan perekonomian? Paling utama adalah meningkatkan stimulus fiskal agar perekonomian di kuartal 3 tidak terkontraksi terlalu dalam. Minimal pertumbuhan ekonomi 0% untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi.

Percepatan pencairan anggaran, terutama bantuan sosial akan meningkatkan konsumsi, terutama dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Diharapkan dengan kenaikan konsumsi ini maka permintaan barang akan kembali meningkat dan perekonomian kembali mulai bergerak.

Indonesia masih mengalami pandemi covid-19 yang terus menguras tenaga dan pikiran pemerintah. Ancaman resesi juga tak bisa dipungkiri sudah tampak di depan mata. Apa yang akan dilakukan pemerintah selanjutnya?

Apa yang terjadi jika Indonesia resesi? Pertanyaan banyak orang sekarang yang mulai menghantui. Banyak dampak yang terjadi ketika Indonesia terjerembab di jurang resesi. Perusahaan banyak yang mengalami kebangkrutan, banyak pabrik yang menutup usahanya, mulai ada pengurangan jam kerja karyawan, mulai banyak PHK di mana-mana, setelah itu dapat dipastikan angka pengangguran meningkat.

Penurunan tingkat konsumsi karena banyaknya pengangguran menjadikan ancaman Indonesia dalam kubangan krisis. Lepas dari jurang krisis akan terasa berat jika setiap kebijakan yang diambil tidak diperhitungkan dengan jelas. Krisis ekonomi mungkin masih sangat jauh, masih ada waktu untuk membuat keputusan penyelamatan ekonomi. Kebijakan fiskal yang diputuskan oleh pemerintah akan menjadi faktor penting dalam menghindari resesi.

Senin, 20 Juli 2020

Buka Sekolah dan Kampus Untuk Hindarkan Indonesia dari Jurang Resesi

Sekolah dan Kampus bisa tingkatkan konsumsi

Singapura tak mampu lagi memungkiri bahwa negaranya memang sedang tak baik-baik saja. Perekonomian sudah babak belur, jurang resesi pun tak sanggup dihindari. Pada kuartal II tahun ini ekonomi Singapura terperosok dan mengalami kontraksi hingga 41,2%. Apakah Indonesia juga akan bernasib sama? Sepertinya iya, jika kebijakan yang diambil tak mampu menggerakkan perekonomian.

Apakah Indonesia akan terdampak resesi Singapura? Negara di sekitar Singapura pasti terdampak, tapi sebesar apa dampaknya? Cukup menarik melihat dampak resesi Singapura terhadap Indonesia.

Singapura adalah negara yang mengandalkan perdagangan global untuk menopang perekonomian mereka. Negara kecil yang sangat aktif di perdagangan internasional. Saat pandemi seperti ini, Singapura akan sangat terdampak, karena kekuatan ekonominya akan dipengaruhi banyak faktor ekternal dari negara lain. Perdagangan global lesu, ekonomi Singapura pun akhirnya ikutan lesu.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum pandemi menyerang, perekonomian Indonesia memang tumbuh, perekonomian dari dalam negeri menggeliat begitu cepat. UMKM menjadi motor penggerak yang luar biasa. Hampir 98% penyediaan pekerjaan di Indonesia di dominasi oleh UMKM. Produk yang dihasilkan pun sebagian besar masih untuk konsumsi domestik. Ini yang membedakan Indonesia dengan Singapura.

Secara perdagangan global mungkin Indonesia kalah dengan Singapura, justru ini yang akan menyelamatkan Indonesia dari resesi. Perekonomian Indonesia yang masih mengandalkan konsumsi domestik adalah jawaban untuk menghindari jurang resesi. Indonesia akan lebih mudah bangkit secara perekonomian. Syaratnya dengan menggerakkan UMKM dan meningkatkan konsumsi domestik.

Indonesia dengan istilah-istilah barunya telah membuka lagi kegiatan perekonomian, entah itu istilah new normal atau adaptasi kebiasaan baru. Namun Indonesia lupa menggerakkan motor perekonomian tersebut. Ibarat membuka kran mata air tapi lupa untuk menghidupakan pompa airnya. Tidak akan ada aliran air yang deras selama pompa airnya tidak dinyalakan.

Sekolah dan kampus adalah sebuah pompa air yang harus segera dinyalakan. Ini adalah pompa air yang mampu mengdongkrak aliran air cukup kencang. Memang masih banyak pro dan kontra tentang sekolah akan dibuka atau tidak, namun selama hal ini tidak dilakukan ekonomi tidak mungkin bergerak dengan kencang.

Ada yang bilang kalau sekolah dan kampus tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian? Yakin demikian? Memang dampak ekonomi yang dihasilkan ketika sekolah atau kampus dibuka terlihat receh, namun ketika uang recehnya jumlahnya segunung akan ternilai besar nominalnya. Jadi ini hal yang diremehkan pemerintah selama ini, mereka melupakan bahwa pompa air itu adalah sekolah dan kampus.

Banyak pekerjaan dan UMKM yang terhenti akibat kegiatan sekolah dan kampus dihentikan, mereka mungkin terlihat tidak memberikan dampak signifikan. Ada 27.205 SMA dan SMK yang ada di Indonesia, ada 4.504 perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa juta orang yang terdampak akibat kegiatan sekolah atau kampus dihentikan.

Satu sekolah saja berhenti operasional saja ada beberapa kantin sekolah yang tidak berjualan lagi. Belum lagi jasa layanan antar jemput anak sekolah, penjual seragam sekolah, alat tulis, driver ojol yang biasa antar jemput anak sekolah. Kampus tutup berdampak pada rumah indekos di sekitar kampus, penjual makanan disekitar kampus. Satu kampus tutup bisa ratusan penjual makanan yang tidak lagii berjualan.  

Ketakutan orang tua terhadap anaknya terpapar covid-19 menjadi salah satu alasan utama sekolah masih belum dibuka. Alasan anak-anak sulit untuk menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan jadi bahan acuannya. Mungkin untuk kelas PAUD, SD dan SMP masih relevan alasan tersebut, tapi untuk anak SMA dan kuliah mungkin bisa dipertimbangkan.

Anak SMA dan kuliah tergolong remaja, dimana mereka memiliki batasan usia menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Disini usia remaja sudah mampu membedakan baik dan buruk, sudah bisa menilai tindakan yang baik dan buruk yang akan dilakukannya. Usia remaja sudah mampu menaati protokol kesehatan, mereka akan paham betul bahayanya covid-19 ini.

Sekolah dan kampus tidak perlu dibuka, karena pendidikan daring sudah menjadi solusinya. Pendidikan daring memerlukan layanan internet yang cukup kencang, ini yang  menjadi alasan para remaja ini untuk berkumpul di warung kopi. Paketan internet habis, dirumah tidak ada  wifi menjadi alasan mereka untuk keluar rumah.

Warung kopi, cafe dan tempat nongkrong dengan akses wifi gratis menjadi pilihan. Mereka berkumpul dengan teman-temannya. Durasi nongkrong  dibandingkan dengan kuliah daring pun lebih banyak didominasi dengan nongkrong. Apakah hal ini lebih efektif daripada sekolah atau kuliah secara tatap muka?